Abad ke-21 sering disebut sebagai era disrupsi. Teknologi digital melesat lebih cepat daripada kereta super cepat di Jepang, dan hampir semua aspek kehidupan manusia terhubung dengan internet. Kita bisa belajar sains dari YouTube, berdiskusi lintas benua melalui Zoom, hingga mengerjakan tugas sekolah dengan bantuan kecerdasan buatan. Tetapi, di balik kecanggihan ini, muncul pertanyaan mendasar: apakah pendidikan kita sudah cukup tangguh dan bermutu untuk menyiapkan generasi menghadapi tantangan abad ini?
Pendidikan yang bermutu bukan sekadar soal ruang kelas rapi dengan papan tulis digital, atau siswa yang fasih menggunakan laptop. Lebih dari itu, pendidikan bermutu adalah proses pembelajaran yang membentuk manusia seutuhnya: cerdas secara intelektual, matang secara emosional, terampil secara sosial, dan tangguh dalam menghadapi perubahan.
Di banyak sekolah, nilai ujian masih menjadi tolok ukur utama keberhasilan. Padahal, kemampuan mengingat rumus matematika atau definisi biologi saja tidak cukup untuk bertahan di dunia kerja maupun kehidupan sosial abad 21. Yang lebih dibutuhkan adalah keterampilan berpikir kritis, mampu menyelesaikan masalah secara kreatif, serta bekerja sama dengan orang lain yang berbeda latar belakang.
Sebagai contoh, seorang siswa SMK yang mempelajari teknik otomotif tidak hanya perlu tahu cara merakit mesin. Ia juga harus memahami perkembangan mobil listrik, bekerja sama dengan tim lintas keahlian, bahkan bisa mengomunikasikan idenya kepada investor atau konsumen. Begitu juga dengan siswa SMA yang bercita-cita menjadi ilmuwan. Ia harus terbiasa membaca literatur global, menguasai bahasa asing, dan tetap terbuka pada kolaborasi internasional.
Pendidikan bermutu harus menggeser orientasi dari sekadar teaching to the test menjadi teaching for life. Guru tidak lagi hanya "mengisi gelas kosong", tetapi juga "menyalakan api" yang membuat siswa haus akan pengetahuan.
Teknologi bisa menjadi pisau bermata dua. Di satu sisi, internet membuka akses belajar tanpa batas. Siswa bisa mengikuti kursus gratis dari universitas top dunia, membaca jurnal terbaru, bahkan mempraktikkan eksperimen sains lewat simulasi daring. Namun, di sisi lain, teknologi juga bisa membuat siswa terlena oleh konten hiburan, media sosial, atau informasi yang menyesatkan.
Di sinilah peran guru dan orang tua menjadi sangat penting. Guru bukan lagi satu-satunya sumber pengetahuan, melainkan fasilitator dan mentor. Mereka perlu mengarahkan siswa bagaimana memilah informasi, mengembangkan daya kritis, serta menjaga etika digital. Sementara orang tua perlu menjadi pendamping aktif, bukan hanya memantau nilai rapor, tetapi juga memahami dunia digital anaknya.
Bayangkan seorang siswa yang bisa berdiskusi dengan ayahnya tentang etika penggunaan AI, atau bertukar ide dengan ibunya tentang dampak media sosial terhadap kesehatan mental. Bukankah itu bentuk pendidikan bermutu yang nyata?
Ketika bicara pendidikan bermutu, kita juga tidak boleh lupa pada prinsip keadilan. Masih banyak anak di pelosok negeri yang berjuang mendapatkan akses sekolah, apalagi fasilitas digital. Jika kita ingin menghadapi tantangan abad 21 sebagai bangsa, maka semua anak---baik di kota besar maupun di pedalaman---berhak mendapatkan kesempatan belajar yang sama.
Pendidikan inklusif juga berarti membuka ruang bagi anak-anak dengan kebutuhan khusus. Mereka punya potensi besar yang bisa berkembang jika difasilitasi dengan pendekatan yang tepat. Abad 21 adalah era yang menuntut keberagaman sebagai kekuatan, bukan kelemahan. Maka, pendidikan harus benar-benar memastikan tidak ada satu pun anak yang tertinggal.