Dalam sejarah panjang gerakan buruh Indonesia, Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) menempati posisi istimewa. Ia bukan sekadar serikat pekerja biasa, tetapi simbol dari konsistensi perjuangan kelas pekerja yang menolak tunduk di tengah gelombang neoliberalisme dan politik upah murah. FSPMI lahir dari semangat perlawanan terhadap ketidakadilan struktural, dan selama dua dekade terakhir menjadi salah satu kekuatan paling solid dalam memperjuangkan hak-hak buruh. Namun di tengah arus perubahan sosial, ekonomi, dan politik yang begitu cepat, muncul pertanyaan mendasar: siapkah FSPMI menghadapi era baru dengan kepemimpinan yang juga baru?
Krisis Kepemimpinan: Ketika Energi Lama Mulai Menurun
Tidak bisa dipungkiri, sebagian besar organisasi buruh di Indonesia termasuk FSPMI sedang menghadapi gejala “penuaan struktural.” Kepemimpinan yang lama sering kali terjebak dalam rutinitas birokratis dan kehilangan kedekatan dengan basis akar rumput. Padahal, buruh di lapangan kini menghadapi tantangan yang sangat berbeda dibanding dua dekade lalu.
Transformasi industri 4.0, maraknya sistem kontrak dan outsourcing, serta munculnya ekonomi digital berbasis platform, telah menciptakan kelas pekerja baru: buruh yang bekerja tanpa pabrik, tanpa seragam, dan tanpa jam kerja pasti.
Model perjuangan yang hanya berfokus pada sektor industri formal tidak lagi cukup. Dibutuhkan cara pandang dan strategi baru agar FSPMI tidak tertinggal oleh realitas sosial yang terus bergerak.
Kelelahan ideologis dan stagnasi taktik menjadi tanda-tanda yang nyata. Banyak buruh muda merasa jauh dari pengambilan keputusan, bahkan sebagian mulai mencari ruang perjuangan alternatif di luar serikat formal. Ini sinyal penting bahwa suksesi kepemimpinan bukan sekadar pergantian figur, tapi soal mengembalikan makna perjuangan itu sendiri: berpihak kepada buruh, bukan pada jabatan.
Belajar dari Generasi Muda: Keberanian yang Tak Terkontrol
Kematian tragis Affan Kurniawan buruh ojek online muda yang tewas dan serangkaian aksi setelah tragedy tersebut menjadi pengingat keras bahwa perjuangan kelas pekerja kini berwajah baru. Generasi muda dan pekerja informal menunjukkan bentuk keberanian yang berbeda: spontan, cair, dan tidak terikat pada struktur organisasi lama. Mereka tidak menunggu instruksi, mereka bergerak karena empati dan kesadaran. Ketika sebagian cara aksi tradisional cenderung menua, lamban, dan berhitung, generasi muda justru bergerak dengan keyakinan moral, meski harus menghadapi resiko yang juga tidak mudah. FSPMI perlu membaca tanda zaman ini: bahwa masa depan gerakan buruh tidak bisa dikelola dengan cara lama. Jika kepemimpinan baru hanya melanjutkan pola lama tertutup, hirarkis, dan transaksional maka regenerasi tidak akan terjadi, dan FSPMI akan kehilangan relevansinya di tengah perubahan sosial.
Suksesi: Antara Pergantian dan Perubahan
Suksesi sejatinya bukan hanya pergantian posisi, tetapi perubahan paradigma. Pemimpin baru FSPMI harus mampu melakukan tiga hal penting: