Mohon tunggu...
SUHANDOKO
SUHANDOKO Mohon Tunggu... Wiraswata

Suka makan enak, jalan-jalan, baca dan nulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Paradoks Indonesia: Medali di Istana, Pentungan di Jalanan

26 Agustus 2025   10:03 Diperbarui: 26 Agustus 2025   15:35 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Demontrasi depan Gedung DPR RI, (Sumber: Hasil Olahan AI Grok)

"Sejarah berulang, pertama sebagai tragedi, kedua sebagai lelucon." -- Karl Marx

Andi, seorang mahasiswa semester akhir di Jakarta, menatap layar ponselnya di sela aksi demonstrasi. Keringat bercampur air mata mengalir di wajahnya, bukan karena haru, melainkan akibat semburan gas air mata yang barusan mendera. Di layar ponselnya, sebuah siaran langsung dari Istana Negara memperlihatkan Presiden Prabowo dengan gagah menyematkan tanda kehormatan kepada ratusan tokoh dan pejabat negara.

Andi terdiam sejenak. "Lucu juga ya," gumamnya lirih, "di istana mereka pesta pora, di sini kita ditraktir pentungan."

Kontras ini begitu nyata: di dalam ruangan ber-AC, ratusan pejabat bergembira dengan medali mengkilap; sementara di luar, rakyat kecil, mahasiswa, pelajar, hingga ojol, menerima penghargaan versi mereka sendiri---berupa pentungan aparat dan gas air mata.

Upacara di Istana itu seolah ingin menunjukkan penghargaan negara kepada para tokoh yang dianggap berjasa. Tetapi pertanyaan reflektif muncul: jasa kepada siapa?

Seorang pengemudi ojol, Joko, yang ikut aksi karena tuntutan biaya hidup yang kian mencekik, berujar dengan getir, "Kalau pejabat baru setahun kerja sudah dapat medali, berarti kami ojol tiap hari ngebut di jalan, pantasnya dapat bintang jasa juga dong. Bedanya, jasa kami nggak pernah disiarkan di TV."

Kutipan Joko mungkin terdengar jenaka, tapi sekaligus menelanjangi paradoks negeri ini.

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) 2025, angka kemiskinan di perkotaan memang menurun tipis, tetapi ketimpangan sosial tetap menganga. Gini ratio Indonesia masih di kisaran 0,38, artinya jurang antara si kaya dan si miskin tetap lebar.

Sementara itu, Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada 2024 mencatat bahwa 71 persen masyarakat merasa kebijakan pemerintah lebih banyak menguntungkan elite dibanding rakyat kecil. Dengan kata lain, perasaan Andi, Joko, dan ribuan rakyat yang turun ke jalan bukan sekadar emosional, tapi tercermin dalam data.

Paradoks ini mirip dengan apa yang ditulis Prabowo sendiri dalam bukunya Paradoks Indonesia: di satu sisi negeri ini kaya sumber daya, tapi di sisi lain rakyatnya masih banyak yang sengsara. Ironisnya, kini paradoks itu tidak hanya jadi judul buku, tetapi juga jadi kenyataan sehari-hari di bawah kepemimpinannya.

Lebih satir lagi ketika upacara anugerah penghargaan dilakukan di Gedung Istana Negara, yang katanya istana rakyat. Istana yang seharusnya menampung aspirasi, berubah jadi panggung elitis.

Di dalam gedung, tepuk tangan meriah menggema. Para pejabat berbaris rapi, nama mereka disebut satu per satu, medali melingkar di dada. Di luar gedung, teriakan mahasiswa tercekik gas air mata.

Seorang pelajar SMA yang ikut aksi dengan poster lusuh bertuliskan "Kami belum lahir, masa depan kami sudah dijual" menangis ketika melihat temannya tersungkur terkena pentungan. "Katanya ini rumah rakyat, kok malah jadi rumah sakit darurat?" ujarnya polos, membuat suasana semakin menyayat.

Kalau dipikir-pikir, Indonesia memang negeri yang gemar dengan simbol. Kehormatan diukur dengan logam dan pita, bukan dengan perbaikan kebijakan. Rakyat diminta menghormati negara, tapi negara sering lupa menghormati rakyat.

Seorang dosen ilmu politik dari salah satu kampus di Jakarta menulis di media sosialnya: "Penghargaan seharusnya diberikan setelah jasa terbukti memberi manfaat nyata. Kalau pejabat baru seumur jagung sudah dapat medali, lalu apa bedanya dengan anak TK yang dapat piagam cuma karena hadir penuh sebulan?"

Satir itu viral, mendapat ribuan tanda suka, karena masyarakat merasa sindiran itu lebih jujur daripada pidato resmi.

Socrates pernah berkata, "Keadilan berarti menempatkan sesuatu pada tempatnya." Tetapi di Indonesia, sepertinya keadilan sedang tersesat arah. Mereka yang punya kuasa mendapat medali, sementara yang kehilangan daya mendapat pentungan.

Bukankah ini paradoks yang lebih paradoks daripada buku Prabowo sendiri? Jika dulu ia menulis tentang ketimpangan antara potensi dan realitas, kini ia memimpin sebuah negara yang menghadirkan ketimpangan baru: pesta di istana versus tangis di jalanan.

Malam itu, Andi pulang dengan mata perih dan dada sesak. Ia menyalakan TV, menonton ulang liputan berita tentang penganugerahan tanda kehormatan. Para pejabat tersenyum sumringah dengan medali berkilau di dada.

Andi tersenyum miris. "Mungkin suatu hari sejarah akan menulis, di era ini rakyat menerima penghargaan juga---penghargaan berupa kesabaran."

Pertanyaan yang menggantung di udara: sampai kapan paradoks ini akan jadi bahan tertawaan? Sampai kapan rakyat rela jadi penonton dalam teater kehormatan yang mereka sendiri tidak pernah diundang masuk?

Di negeri yang katanya gemah ripah loh jinawi ini, penghargaan di istana ternyata hanya punya satu penonton setia: ironi.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun