Lebih satir lagi ketika upacara anugerah penghargaan dilakukan di Gedung Istana Negara, yang katanya istana rakyat. Istana yang seharusnya menampung aspirasi, berubah jadi panggung elitis.
Di dalam gedung, tepuk tangan meriah menggema. Para pejabat berbaris rapi, nama mereka disebut satu per satu, medali melingkar di dada. Di luar gedung, teriakan mahasiswa tercekik gas air mata.
Seorang pelajar SMA yang ikut aksi dengan poster lusuh bertuliskan "Kami belum lahir, masa depan kami sudah dijual" menangis ketika melihat temannya tersungkur terkena pentungan. "Katanya ini rumah rakyat, kok malah jadi rumah sakit darurat?" ujarnya polos, membuat suasana semakin menyayat.
Kalau dipikir-pikir, Indonesia memang negeri yang gemar dengan simbol. Kehormatan diukur dengan logam dan pita, bukan dengan perbaikan kebijakan. Rakyat diminta menghormati negara, tapi negara sering lupa menghormati rakyat.
Seorang dosen ilmu politik dari salah satu kampus di Jakarta menulis di media sosialnya: "Penghargaan seharusnya diberikan setelah jasa terbukti memberi manfaat nyata. Kalau pejabat baru seumur jagung sudah dapat medali, lalu apa bedanya dengan anak TK yang dapat piagam cuma karena hadir penuh sebulan?"
Satir itu viral, mendapat ribuan tanda suka, karena masyarakat merasa sindiran itu lebih jujur daripada pidato resmi.
Socrates pernah berkata, "Keadilan berarti menempatkan sesuatu pada tempatnya." Tetapi di Indonesia, sepertinya keadilan sedang tersesat arah. Mereka yang punya kuasa mendapat medali, sementara yang kehilangan daya mendapat pentungan.
Bukankah ini paradoks yang lebih paradoks daripada buku Prabowo sendiri? Jika dulu ia menulis tentang ketimpangan antara potensi dan realitas, kini ia memimpin sebuah negara yang menghadirkan ketimpangan baru: pesta di istana versus tangis di jalanan.
Malam itu, Andi pulang dengan mata perih dan dada sesak. Ia menyalakan TV, menonton ulang liputan berita tentang penganugerahan tanda kehormatan. Para pejabat tersenyum sumringah dengan medali berkilau di dada.
Andi tersenyum miris. "Mungkin suatu hari sejarah akan menulis, di era ini rakyat menerima penghargaan juga---penghargaan berupa kesabaran."
Pertanyaan yang menggantung di udara: sampai kapan paradoks ini akan jadi bahan tertawaan? Sampai kapan rakyat rela jadi penonton dalam teater kehormatan yang mereka sendiri tidak pernah diundang masuk?