Mohon tunggu...
suhairi anwar
suhairi anwar Mohon Tunggu...

Ini aku, lelaki yang jatuh cinta pada Bahasa. (jalanaan.blogspot.com)

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Dunia Merah

28 Juli 2010   15:22 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:32 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

[caption id="attachment_207685" align="alignleft" width="300" caption="ilustrasi dunia merah"][/caption] Ada suara yang sedang bergema memenuhi setiap sudut dunia tua. Suara yang menyerupai nyanyian pengiring alunan seruling anak penggembala. Di padang yang selalu dilewati angin, suara itu pernah menyentuh lembut telinganya. Tak hanya telinga, suara itu mengalir indah memberi ruh pada setiap sel ubun-ubun, melewati aliran darah yang semula beku, hingga memenuhi ruang jiwanya yang kosong. Dan, perlahan-lahan, keluar memberi nafas setiap pori-pori yang lelah. Dia telentang dikelilingi rumput-rumput di padang hijau. Membentangkan kedua tangannya dan mengibas-ngibaskannya menyerupai kepakan sayap elang yang berputar-putar di atas sana. Di seberang sungai, ditingkahi kecipak air yang bermain dengan bebatuan, lambaian pepohonan menjelma goyangan bandul yang memberatkan mata. Satu persatu masalah diurainya dan dititipkannya pada angin. Angin, bawalah dia pergi…. Dia terbangun, dan dunia merah membakar semua kedamaian. Suara serak melahap segala kemerduan. Angin semilir hangus, asap pekat menyelimuti bumi. Setetes demi setetes uap air pergi mencari kesejukan di langit. Pergi, menyisakan padang yang kerontang. Dia terbangun dengan mata pedih menahan perih. Rumpu-rumput menari yang menemani tidurnya tertunduk kering, sekarat. Pepohonan berubah menjadi kayu bakar pada tungku raksasa. Elang berteriak gelisah mencari pasangan yang hilang dikulum asap. Adakah sesuatu tersisa yang akan memberikannya sebuah kehidupan? Di puncak bukit sana, dia berdiri. Sejauh mata memandang adalah merah, hanyalah merah. Suara alam adalah nyanyian pilu pengiring sebuah kematian. Dari tempatnya berdiri, dunia adalah kuburan terakhir bagi segala yang mencoba bertahan. Dan dia tahu, tak akan ada satu pun yang mampu bertahan. Karena dunia bukan tempat bertahan. Dunia semata-mata adalah tempat menentukan pilihan, dengan cara apa semuanya akan berakhir. Di atas sana dia menyanyikan lagu terakhir. Alam yang menangis adalah orkestra yang sempurna untuk mengucapkan syukur dan sekaligus permintaan maaf pada kehidupan. Syukur karena diberi kepercayaan, maaf karena harus dibayar dengan pengkhianatan. Kehidupan sedang sekarat. Akankah ada yang mampu memahaminya?

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun