Pertama, ada risiko bias yang disengaja. Internal auditor, seperti manusia lainnya, tidak kebal dari kepentingan pribadi atau tekanan eksternal. Mereka bisa mengarahkan fokus audit hanya pada area-area "aman" yang tidak akan memicu konflik dengan manajemen senior, sambil mengabaikan masalah besar yang sebenarnya mengancam organisasi. Ini menciptakan ilusi integritas---laporan tampak bersih, tetapi karena memang tidak ada yang berani mengotori kertasnya dengan kebenaran yang tidak nyaman.
Kedua, potensi penyembunyian pelanggaran. Internal auditor memiliki akses langsung ke informasi yang sangat sensitive, kontrak rahasia, laporan investigasi, bahkan bukti dugaan penipuan. Tanpa pengawasan, informasi ini bisa dengan mudah "hilang" atau dikubur di bawah dalih "tidak cukup bukti". Dalam kasus ekstrem, mereka bisa menjadi bagian dari jaringan kolusi yang melindungi pihak tertentu di dalam perusahaan.
Ketiga, risiko manipulasi laporan demi citra. Perusahaan sering bergantung pada hasil audit internal untuk meyakinkan pemegang saham, regulator, atau publik bahwa semuanya berjalan sesuai aturan. Jika internal auditor memutuskan untuk memoles laporan demi menjaga citra, publik akan mendapat gambaran palsu tentang kesehatan organisasi, hingga masalah meledak menjadi krisis besar.
Keempat, ancaman melemahnya budaya integritas. Ketika karyawan menyadari bahwa bahkan pengawas pun tidak diawasi, pesan yang tersampaikan jelas: akuntabilitas adalah konsep fleksibel. Ini menciptakan lingkungan di mana pelanggaran kecil dibiarkan, pelanggaran besar dinegosiasikan, dan etika menjadi sekadar kata yang dicetak di buku pedoman karyawan.
Sejarah sudah menunjukkan dampaknya. Dari skandal Enron hingga kebocoran dana di BUMN tertentu, banyak kasus besar yang membuktikan bahwa pengawas internal bisa gagal total, bukan karena tidak mampu, tetapi karena sistem tidak dirancang untuk memeriksa mereka secara serius. Mereka ibarat dinding pertahanan yang kelihatannya kokoh, tapi diam-diam retak dari dalam.
Pada akhirnya, risiko terbesar bukan sekadar kerugian finansial, tapi hilangnya kepercayaan. Begitu publik atau pemegang saham mulai curiga bahwa pengawas tidak lebih bersih dari yang diawasi, reputasi perusahaan bisa runtuh lebih cepat daripada nilai sahamnya.
Kalau penjaga gerbang perusahaan ternyata tidur di posnya, bahkan lebih parah, justru membuka pintu bagi penyusup, maka jangan kaget kalau seluruh istana ambruk dalam semalam. Internal auditor yang tidak diawasi dengan baik membawa risiko yang jauh lebih besar daripada sekadar "laporan yang kurang akurat". Mereka berpotensi menjadi katalis keruntuhan organisasi.
Pertama, ada manipulasi laporan. Tanpa pengawasan, internal auditor bisa memoles hasil audit untuk menyenangkan manajemen, meredam kritik dari dewan direksi, atau sekadar menjaga "citra" perusahaan di mata investor. Kata-kata seperti "temuan minor" atau "dapat ditingkatkan" bisa menjadi kamuflase bagi masalah serius, mulai dari pelanggaran regulasi hingga potensi fraud bernilai miliaran. Begitu laporan disajikan dengan bahasa yang sudah "dibersihkan", semua pihak di luar lingkaran inti akan percaya bahwa kondisi perusahaan baik-baik saja. Sampai pada akhirnya, bom waktu itu meledak.
Kedua, kegagalan mendeteksi penipuan. Sejarah dunia korporasi penuh dengan pelajaran pahit. Enron, misalnya, menjadi contoh paling terkenal bagaimana fungsi audit internal tidak berfungsi sebagaimana mestinya, baik karena tekanan internal, kolusi, atau sekadar ketidakberanian untuk melawan arus manajemen puncak. Hasilnya? Skandal keuangan yang menghapus miliaran dolar nilai pasar, menghancurkan ribuan karier, dan memicu perubahan regulasi global. Kasus serupa terjadi pada WorldCom, di mana pembukuan diubah secara sistematis sementara fungsi pengawasan internal gagal membunyikan alarm tepat waktu.
Ketiga, hilangnya kepercayaan. Internal audit adalah salah satu pilar reputasi perusahaan di mata pemangku kepentingan, mulai dari investor, kreditor, regulator, hingga publik. Begitu terbukti bahwa auditor internal ikut bermain dalam permainan kotor atau sekadar tidak kompeten, pilar itu runtuh. Kepercayaan yang hilang tidak mudah kembali; investor menarik modal, regulator mengetatkan pengawasan, dan reputasi perusahaan menjadi noda permanen di pasar.
Konsekuensinya tidak berhenti di angka-angka kerugian finansial. Kerusakan moral organisasi bisa menyebar cepat. Karyawan belajar bahwa integritas bisa dinegosiasikan, pelanggaran bisa ditutup, dan kebenaran hanyalah soal siapa yang memegang pena di laporan akhir. Inilah yang membuat keruntuhan organisasi sering kali tidak dimulai dari pesaing atau pasar, tetapi dari keroposnya benteng di dalam.