Mohon tunggu...
Suhadi Sastrawijaya
Suhadi Sastrawijaya Mohon Tunggu... Penulis - Suhadi Sastrawijaya

Suhadi Sastrawijaya penulis berdarah Jawa- Sunda. Hobi membaca terutama buku-buku sastra dan sejarah

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Rasa Sakit dan Penderitaan Itu Hanya Lelucon?

29 Mei 2023   11:24 Diperbarui: 29 Mei 2023   11:54 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: idntimes.com

Rasa Sakit dan Penderitaan Itu Hanya Lelucon?

Pernahkah teman-teman merasakan rasa sedih dan rasa sakit yang teramat sangat? Saat kita merasakan rasa sakit dan sedih yang teramat sangat rasanya kematian adalah jalan yang terbaik. Namun kita lupa kalau setelah kematian ada banyak hal yang harus dipertanggungjawabkan di hadapan Allah.

Dewasa kini sering kita jumpai berita di media, orang-orang mengakhiri hudupnya dengan membunuh dirinya sendiri karena tidak tahan terhadap sakitnya penderitaan hidup.
Padahal Allah telah mengatakan dalam Al Qur'an.

"Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdoa): "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri maaflah kami, ampunilah kami dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir." (QS. Al-Baqarah: 286).

Lebih jauh lagi di ayat yang lain ada disebutkan.
Allah berfirman: "Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. (QS. Al-Insyirah: 5-6).

Tapi mengapa rasa sakit yang di derita itu seaakan tidak ada ujungnya?
Itu sebenarnya tidak lain adalah karena ketidaksabaran kita. Ego yang terlalu tinggi, serba ingin instan, tidak menyikapi segala permasalahan dengan bijak yang akhirnya merasa derita tak ada akhirnya. Padahal Allah sudah mengatakan manusia tidaklah dibebani dengan suatu beban diluar batas kemampuannya. Dan yang perlu kita ingat adalah segala permasalahan pasti ada hikmahnya. Misalnya kita hidup dengan kemiskinan mengapa tidak juga kaya. Allah tentu lebih tahu tentang kita daripada diri kita sendiri. Bisa saja kalau kita kaya kita akan hidup tamak, lalu segala dibeli, segala makananan dibeli. Berpola hidup tidak sehat yang tak terkontrol lalu ujung-ujungnya sakit keras, harta habis dipakai biaya berobat, lalu jatuh miskin melebihi sebelumnya dan lebih frustasi lagi.
Atau misalnya kekayaaan itu bisa menyebabkan kita kepada kesombongan dan kesewenang - wenangan. Akhirnya banyak orang yang menjadi korban kezaliman kita.

Terkadang kita khilaf bahwa kehidupan itu tidak hanya di dunia ini saja. Kehidupan kekal dan abadi bukanlah di dunia ini. Karena alam dunia ada akhirnya. Tapi kehidupan kekal itulah di akhirat kelak. Alam yang abadi. Mungkin jika diibaratkan kehidupan di dunia ini hanyalah sekejap mata saja. Seperti yang difirmankan Allah dalam Al Qur'an.
" Pada waktu mereka melihat hari berbangkit itu, mereka merasa seakan-akan tidak tinggal (di dunia) melainkan (sebentar saja) di waktu sore atau pagi hari." (QS. An Nazi'at: 46)

Ternyata betapa sebentarnya hidup di dunia ini. Ketika sudah diakhirat kelak, manusia merasa kehidupannya di dunia dahulu seakan akan hanya sesorean atau sepagian saja. Sebentar itulah yang dirasakan. Kemana kekayaan yang dibangga-banggan di dunia dulu, takhta dan jabatan yang dikagumi manusia kini menjadi banyangan yang tiada artinya.
Atau kemana rasa sakit, sedih, kecewa, kemiskinan dan penderitaan yang diderita dahulu? Kini lenyap sudah.

Baca juga: Memikul Rasa Sakit

Orang-orang yang selama di dunianya bersikap sabar, taat menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangannya akan mendapatkan kebahagiaan yang tak terhingga yang dulu dijanjikan tuhannya.
Mungkinkah mereka juga akan menertawakan penderitaan yang dialaminya dulu ketika di dunia? Seraya berkata "Ah, rasa sakit yang diderita dulu tak ada apa-apanya ya... seperti mimpi saja."
Rasa sakit yang di derita yang seakan tiada ujungnya di dunia ternyata tidak ada artinya dengan kehidupan di akhirat yang abadi selamanya. Begitu pula dengan harta melimpah dan kemewahan yang megah yang kita peroleh selama di dunia, semuanya akan lenyap. Hanya amal kebaikan yang dibawa mati.

Kesimpulan: Maka seyogyanya kita memfokuskan hidup kita di dunia untuk bermuara kepada Allah. Untuk kehidupan akhirat yang kekal. Beramal baik, bersabar dan ikhlas dalam menjalani kesakitan dan penderitaan namun disertai dengan usaha untuk bangkit dari kesakitan. Mencari penyembuhan dan jalan keluar dari penderitaan disertai tawakal kepada Allah. Begitu pula kekayaan, kecantikan rupa serta kedudukan yang terhormat selama di dunia jangan sampai menjadikan kita manusia yang sombong. Karena jika kita menyombongkan diri dan zalim, kelak kita diakhirat akan menderita dalam azab neraka.
Kekayaan, kecantikan, rasa sakit dan penderitaan pada akhirnya menjadi seperti sebuah lelucon bukan?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun