Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Anggiat Pasaribu, dari Caci-Maki Berujung Buka-Bukaan, Malu dan Minta Maaf

27 November 2021   21:54 Diperbarui: 27 November 2021   22:01 698
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image caption - Anggiat Pasaribu (Rindu) minta maaf kepada ibunda Arteria Dahlan di ruang Fraksi PDIP DPR RI Jakarta - jabar-tribunnews.com

Dibandingkan sinetron agaknya cerita soal Anggiat Pasaribu jauh lebih menggigit. Hanya, sayang ending terlalu klise dan tidak ada kejutan. Terlalu lebay, dan si tokoh antagonis keterlaluan ceroboh dalam merangkai argumentasi cerita.

Begitupun tetap menarik untuk ditelusuri kembali mengapa Rindu, nama panggilan Anggiat Pasaribu, membuka cerita dengan caci-maki? Bukan kepada orang dengan umur sepantaran, tetapi kepada wanita jauh lebih tua. Mungkin lebih cocok seusia ibunya, atau neneknya. Sangat tidak seimbang bila perempuan seumuran itu coba-coba dijadikan mitra-tanding "kegemarannya" berkata-kata kasar-keras-menyinggung perasaan.

Entah pikiran apa yang berkelebat di kepalanya saat itu. Entah pula geram-kesal-marah dan ketergesaan apa yang mengharuskannya menyalahkan orang lain di depannya pada antrian keluar dari pesawat terbang di Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang.

Mungkin banyak alasan lain yang menyebabkan sikap meledak-ledak seperti itu. Padahal pintu belum dibuka. Maka keluarlah kata-kata "bernas", ditambah dengan pernyataan yang entah dengan tujuan apa dengan menyebut-nyebut diri sebagai "anak jenderal bintang tiga".

Sangat kebetulan yang dihadapi Arteria Dahlan, seorang anggota DPR RI dari Praksi PDIP dan ibundanya, Wasmiar Wahab. Perilaku "kurang-ajar dan melampaui batas" (menurut penilaian Anggiat sendiri atas tindakannya) itu lengkap terekam audio-videonya. Ketika diunggah ke media sosial tak perlu waktu lama menjadi viral. Tudingan keras mengarah kepada Anggiat. Perilaku buruk itu sangat mudah dihakimi netizen.

Memang ada juga yang menuding Arteria Dahlan dengan sebutan karma. Itu tudingan dari seorang ustaz terkait nada keras Arteria Dahlan terhadap Prof. Emil Salim pada layar tv beberapa waktu lalu. Mengherankan, entah dalil apa yang digunakan Pak Ustaz hingga menemukan sebutan "karma" untuk apa yang dialami Arteria.

*

Buka-Bukaan

Mungkin Anggiat Pasaribu memang gemar betul merendahkan orang lain. Mungkin juga sekadar sekadar ingin dianggap hebat di mata orang lain, sehingga mengaku-ngaku anak jenderal bintang tiga. Sejauh ini belum jelas siapa si jenderal TNI bintang tiga yang dimaksudnya. Ada betul-betul sosoknya, atau sekadar karangan, alias omong kosong.

Belakang yang ada "hanya" jenderal bintang satu. Yaitu Brigjen Zamroni, mantan Dandim Jaksel yang kini berdinas di BIN, yang tampak "mengawal" Anggiat Pasaribu.

Bahkan kepada Ketua DPRD DKI Jakarta, Prasetio Edi Marsudi (dari PDIP, dalam pembicaraan via telepon), sosok Zamroni mengaku sebagai suami Anggiat. Pengakuan tersebut terkait dengan usahanya meminta inisiasi untuk mendamaikan cekcok Anggiat dengan Arteria.

Mungkin tanpa berpikir panjang dan spontan Pak Jenderal coba mempengaruhi (baca menekan) Prasetio. Padahal pada saat yang sama suami Anggiat juga ada dalam rombongan penerbangan yang sama. Entah mengapa Brigjen Zamroni yang tampil di depan. Suami Anggiat yaitu Lettu Bayu, seorang prajurit TNI (berdinas di Kodim 0501/BS Jakarta Pusat) yang belakangan gambarnya tersebar di media sosial.

Mungkinkah Brigjen Zamroni coba menutupi keberadaan Lettu Bayu? Sebab ternyata kepergian Lettu Bayu ke luar kota (dengan maksud berobat alternatif) tanpa seizin dinas. Dan karena tindakannya itu kini ia sedang diperiksa Polisi Militer (POM) TNI.

*

Malu dan Maaf

Masih banyak sisi-sisi menarik untuk diceritakan, tapi sejauh ini akhirnya kita semua tahu. Cerita tentang caci-maki Rindu berakhir pada malu. Bahkan ditambahi dengan angisan dan pingsan. Juga penyesalan. Dengan ending sangat mudah diduga: maaf.

Dalam konferensi pers yang digelar, di ruang Fraksi PDIP DPR RI yang disaksikan puluhan pasang mata wartawan, Anggiat Pasaribu menyampaikan permohonan maaf atas perbuatannya kepada Arteria Dahlan dan ibundanya, Wasmiar Wahab.

Cerita selesai? Belum. Masih menimbulkan anda tanya: pertama, siapa orangtua Anggiat sebenarnya? Juga, belum ada konfirmasi, mengapa Brigjen Zamroni mengaku sebagai suami Anggiat?

*

Hal Penting

Dibalik cerita yang berawal dari caci-maki di bandara Soetta dan berakhir dengan kata maaf di atas pasti ada hal penting dapat dipetik. Pertama, hal buruk apapun di tempat umum mudah saja menjadi urusan publik untuk ikut menghakimi. Jangankan berkata-berlaku buruk, bersikap baik pun kerap memunculkan sisi negatif bila dilihat orang lain dengan kacamata berbeda.

Kini tiap orang punya alat rekam. Kini banyak orang suka berbagi pengalaman baik maupun buruk di media online/sosial. Kini tak sedikit orang yang hidup dengan membuat konten dari berbagai peristiwa yang menjadi viral/trending.

Kedua, ingat ungkapan "di atas langit masih ada langit" mengharuskan kita berlaku hati-hati dan waspada dalam menjaga lidah-perilaku-pikiran. Kalau kita berprinsip "tidak takut kepada manusia", setidaknya takutlah kepada Allah. Tuhan yang maha melihat-mendengar-mengetahui. Pendeknya, hal buruk apapun yang kita perbuat hasilnya akan kembali kepada kita.

Ketiga, satu kesalahan/keburukan (bila tidak segera diperbaiki) harus ditutupi dengan kesalahan/keburukan lain yang lebih buruk/fatal.

*

Begitulah. Dari sekadar caci-maki harus berujung pada buka-bukaan cerita sebenarnya, disertai rasa malu, ada tangis dan pingsan, serta kata maaf. Entah tulus, terpaksa, atau sekadar cara gampang untuk menghapus rasa bersalah. 

Dalam peristiwa caci-maki di bandara itu Anggiat Pasaribu jelas bukan contoh baik dan bukan pula sosok baik. Namun, pada peristiwa di ruang Fraksi PDIP DPR RI, Kompleks Parlemen, Senayan - Jakarta, Anggiat Pasaribu telah kembali pada kondisi ideal-normal-bertanggungjawab sebagaimana mestinya. Bila kita punya keteledoran seperti perilaku Anggiat dapatkah kita berlaku serupa? 

Mungkin cerita di atas dapat lebih menggigit dibandingkan cerita-cerita sinetron pada layar tv kita, bila  si jenderal bintang tiga dan si Brigjen ternyata (isi sendiri) . . . . . ! Mari sabar menunggu hasil penelusuran para jurnalis media massa-sosial-online (bila ada). Wallahu a'lam. ***

Sekemirung -- Bandung, 21 November 2021, 22 Rabiul Awal 1443
Sugiyanto Hadi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun