Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Rezeki Tak Terduga

25 Agustus 2020   21:07 Diperbarui: 25 Agustus 2020   21:03 227
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
buruh gendong dengan bebbas berat di punggung - jogjapolitan.harianjogja.com

Yu Saripah berangkat pagi-lagi sekali ke pasar. Wajahnya meriah, senyum dan celoteh bahagia sepanjang jalan disela kayuhan sepeda onthel, menambah kegembiraan hati. sudah tidak banyak lagi orang naik sepeda. Kebanyakan naik motor. Jadi mereka ngebut, suka main klakson sembarangan, hingga suka bikin terkejut.

Kalau biasanya Yu Saripah bersungut-sungut bila dikejuti klakson motor, kali ini tidak. Ia tersenyum saja, mengucap Alhamdulillah, dan melambaikan tangan kepada orang yang memberinya klakson.

Sampai kemudian ada sepeda motor yang berhenti. Pengendaranya seorang lelaki paruh baya, ganteng, berkumis, dan tersenyum manis. Tentu saja Yu Saripah seketika merasa gede rasa, alias ke-geer-an. Lelaki itu membuka helm yang dikenakannya.

"Bu, punten sekadar memberitahu. . . .  !" katanya sambil menunjuk ban belakang sepeda Yu Saripah.

"Apa, Pak? Apakah kita saling kenal?"

"Kenal? Boleh saja kalau ingin kenalan. Tetapi saya hanya ingin memberi tahu, ban sepeda ibu gembos. Lebih baik bawa ke tukang tambal ban dulu. Kalau nekat dikendarai takutnya bikin celaka. . . . ."

"Ohh.. . .  Saya kira apa. . . hehehe!" Yu Saripah menghentikan laju sepedanya, lalu melirik ke ban belakang, dan menarik nafas panjang. "Ohh, saya terlalu gembira dan penuh semangat, sampai tidak berasa ban sepeda gembos. Terima kasih, Pak. . . .  ehh, Mas. Terima kasih sudah diberitahu. Mas, baik hati sekali deh. . . . !"

Lelaki ganteng itu tidak menyahut. Hanya mengacungkan jempol tangan kanan. Dan segera menstater sepeda motornya, kemudian melaju meneruskan perjalanan.

*

Sampai di pasar ternyata agak siang juga. Lebih siang dibandingkan hari-hari sebelumnya. Jadinya agak kesal juga harinya. Padahal ada yang segera ingin ia sampaikan kepada Mujilah, teman senasib sesama buruh gendong di pasar Gede. Janda tiga anak itu menemukan kawan berbagi cerita dan curhat hanya pada Mujilah.

"Tiga hari mangkir, Yu? Kemana saja?" sambut Mujilah sambil menyalami Yu Saripah, lalu memeluk melepas rindu.

"Rindu, ya? Kayak rindu pada pacar?"

"Rindu dan cemburu. Takut jangan-jangan Yu Saripah ketemu cowok cakep, lalu menikah, terus berhenti jadi buruh gendong. . . . . !"

Disinggung soal cowok ganteng, Yu Saripah merasa geli sendiri. Dengan masih tertawa-tawa ia ceritakan soal lelaki bersepeda motor yang menghentikan sepedanya sekadar memberi tahu ban belakang bocor.

"Senang dong, Yu. . . .? Tapi pertanyaanku soal tiga hari tidak nongol ke pasar tadi belum dijawab, ke mana dan dengan siapa?"

"Hahaha. . . . , pingin tahu ya? Aku dapat pekerjaan sangat menyenangkan. Membantu Bu Dasmi yang buka catering. Seorang tenaga kerjanya sakit sakit. Aku dimintanya membantu. . . ."

"Makan enak, digaji pula. Apa Yu Saripah bisa memasak?" tanya Mujilah dengan wajah berkerut kurang percaya. "Pulang bawa uang banyak dong."

Sudah bersiap-siap hendak bercerita, ada panggilan pelanggan. Dua perempuan buruh gendong serupa ibu dengan anak itu berlari penuh antusias mengejar rezeki mereka pagi itu.

*

Sepasang anak muda rupanya sedang memborong oleh-oleh. Yang lelaki main tunjuk, sedangkan yang perempuan sibuk membanding-bandingkan. Si penjual tentu senang saja. Apalagi tampak si pembeli bukan orang lokal. Mereka pasti wisatawan dari kota lain, mungkin juga dari pulau lain.

Pak Radimun si penjual meladeni apa saja yang diminta. Kerupuk udang, krupuk kulit, emping, rambak, gula merah, ikan asin, dan banyak lagi. Hampir semua dagangan dituding, dan tidak ditanyakan harganya. Maka muncul pikiran Pak Radimun khas pedagang: menaikkan harga.

"Ojo aji mumpung lho, Pak Mun. Regone biasa wae, ora ndadak digawe sundul langit. Mengko kabar tetukon rego larang diunggah uwong neng facebook utowo instagram, wisatawan liyo ora ono sing teko. . . . .!" komentar Bu Samjiyo dalam Bahasa Jawa dengan mata mlerok dan wajah bengkok. Tentu ada rasa iri sebab pembeli itu bukan singgah di kiosnya.

Yang disindir tidak meladeni. Ia pura-pura sibuk menata jualan. Tapi tetap saja dengan pikiran bimbang. Mau dinaikkan, atau harga biasa. Kalau tetangga kios kiri-kanan tahu perilakunya bukan tak mungkin ia dilabrak banyak pedagang karena dianggap merusak nama pedagang pasar.

"Wis, ora perlu diajari. Rezekine dewe-dewe. Ora perlu melu campur. . . . .  !" gumam Pak Radimun sambil tetap fokus pada hitung-hitungan di kertas. (Bersambung) ***

Sekemirung, 25 Agustus 2020

Keterangan:
1. "Ojo aji mumpung lho, Pak Mun. Regone biasa wae, ora ndadak sigawe sundul langit. Mengko kabar tetukon rego larang diunggah uwong neng facebook utowo instagram, wisatawan liyo ora ono sing teko. . . . .!"  (Jawa, Jangan aji mumpung, Pak Mun. Harganya biasa saja, tidak perlu dibuat setinggi langit. Nanti kabar pembelian dengan harga mahal diunggah orang ke Facebook- Instagram - Twitter, wisatawan lain tidak ada yang datang. . . .")

2. mlerok  (Jawa, melirik disertai mimik tidak suka)

3. "Wis, ora perlu diajari. Rezekine dewe-dewe. Ora perlu melu campur. . . . .  !"  (Sudahlah, tidak perlu diajari. Rezekinya sendiri-sendiri. tidak perlu ikut campur. . . . !)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun