Tak segera kutemukan kata paling ranum
melainkan sekadar gumam.
Aku bersendiri di tepi, dan hari membujur ke Timur.
Ke arah mana penghuni langit berkiblat untuk datang.
Sedang embun tak turun, juga hujan rintik saja.
Orang-orang bergegas menyongsong
luka lebih dalam.
Hanya tetes air keran bocor yang sesekali mengasah sepi.
Ketika cicak dan nyamuk berbagi jejak
untuk tak lama rebah.
Mimpi paling dengkur, lelap paling samar.
Orang-orang tertidur setelah luka dibebat desah.
Ini malam Jumat.
Semua yang pernah datang, akan pulang.
Tak segera kutemukan kata paling wabah
seketika mayat-mayat
terjajar di tanah.
Lakukan sesuatu untuk berduka.
Sediakan kafan dan lahat secukupnya.
Tengah malam ini juga makam harus dibuka.
Diam-diam, jauhkan semua bunyi,
gerak cepat sekali.
Agar virus tak tahu, tak sempat merundung di sisa hari.
Luka itu kelamnya malam, isak-tangis itu jeruji
yang memenjara. Daun-daun berserak.
Bulan menua. Awan makin perak
Hati pun legam, dingin, tersungkur diam.
Tak kutemukan kata paling ranum
semisal luka, rumah segenap kematian. ***
Sekemirung, 12 Juni 2020 Â