Aku pun terjaga dari terlelap sesaat. Sampai tidak tahu isteriku mengigau, terbangun dari mimpi, atau apa. Ia tertawa-tawa dengan begitu girangnya, menirukan kebiasaannya di rumah lama dulu.
"Banjir, Bang.. . . . .hahahah!" kata isteriku dengan nada bercanda. Menunggu air hujan membuat kami gila.
Aku cepat-cepat berlari ke arah talang rumah. Wadah air di sana kudekatkan di bawah pancuran. Kalau air mengucur akan mudah menampungnya dengan wadah satu per satu. Diisi penuh, ditutup, dan disimpan sebagai cadangan air untuk kebutuhan sehari-hari. Kalau hujan cukup lama turun, kami bakal punya cadangan air dua-tiga hari, sampai satu minggu.
Kalau hari ini ada yang iseng bertanya, siapa kawan akrabku sekarang? Kujawab, talang air. Kalau ada lagi yang bertanya, rindukah kembali ke rumah lama untuk berkawan lagi dengan banjir? Sulit menjawabnya.
"Kami sering iri pada mereka yang kebanjiran. Kadang membayangkan betapa menyenangkan dilanda air yang baik dan berlimpah. Sesuatu yang tak kami dapati lagi di sini. Ada rasa rindu juga sebenarnya, tapi. . . . . !" tulisku pada sebuah buku harian aneka nasihat kepada diri sendiri.
Kembali pada pertanyaan, rindukah kembali ke rumah lama, sebaiknya kujawab: tidak. Tidak. Biarlah itu menjadi masa lalu saja. *** (Habis)
Sekemirung, 20 Maret 2019 Â - 31 Januari 2020
Tulisan sebelumnya: cerpen-berkawan-banjir  -    cerpen-berkawan-banjir-2