Tak mudah untuk menulis dengan waktu hanya lima
bukan lima jam atau lima hari, tapi lima menit
itu tengah malam, ketika mata mengantuk, sedang
jemari belum sekalimat pun menuturkan kisah
yang pantas untuk dibawa tidur, lalu dimimpikan
menjadi nasihat kecil tentang lilitan sisa usia
yang tak juga lunak untuk  mudah dicerna.
Di luar kamar seorang ibu melantunkan bacaan
agung, dari kitab yang dibaca jutaan orang
sambung menyambung dari ujung ke ujung
timur dan barat, dan seterusnya, hingga katam
lalu kembali pada alfatihah, dengan segenap makna
bahwa dunia itu cara, dan akhirat itu utama.
Sedang suara dari layar televisi belum juga padam
silih berganti, antara musik dan percakapan
diseling iklan, diganggu jutaan gambar memancar
gemetar, serupa hendak pamit menuju peraduan.
bahkan malam pun merasa letih dan suntuk
perlu istirah. Maka biarlah ia menjulurkan tubuh
dan rebah, terbaring untuk meraup segenap peristiwa
melabuhkan butir serta buih, makna kedalaman gelap
dzikir lirih pada dengkuran, samadi meniti jalan lelap.
Pondok Gede, 9 Desember 2018, 01.05 WIB
Tulisan sebelumnya:
Â