Surat-surat yang Tak Terkirimkan (4)
Silvy,
Lisa, sahabatmu bisa dikatakan datang bukan dari keluarga yang harmonis. Ayahnya telah meninggal karena sakit. Ibunya bekerja di sebuah perusahaan kecil, sebagai tenaga administrasi.
Setamat SMA, Lisa bekerja sebagai Sales Promotion Girl (SPG) pada salah satu Departemen Store yang cukup terkenal di kota Bandung. Â Bersamaan dengan itu pula, ia menjalin hubungan kasih dengan seorang pemuda yang masih kuliah di Fakultas Teknik.
Suatu hari dia dialihtugaskan ke Cirebon. Cirebon merupakan kota pertamanya dia berkelana. Di sana dia tinggal di sebuah rumah kontrakan yang tempatnya tak jauh dari tempat kerjanya. Dalam menjalani hari-harinya di Cirebon, dia rajut hubungan cinta dengan kekasihnya penuh  sayang.
Kasih sayang mana tak pernah dia dapatkan dari keluarganya. Â Itulah sebabnya ia begitu yakin dan percaya kepada kekasihnya sehingga ia pun memasrahkan diri hanya untuk kekasihnya. Hubungan cinta itu pun diakhiri dengan pernikahan tanpa sepengetahuan orang tua dari kedua belah pihak, dan hanya disaksikan oleh teman-teman sekerja saja.
Suatu hari ia memeriksakan diri ke dokter, dan ternyata dokter menyatakan dia positif hamil. Blar! Terasa disambar geledek Lisa mendengar pernyataan dokter. Lisa bingung dan cemas. Masalahnya perusahaan yang mempekerjakan dia memiliki peraturan bahwa selama 2 tahun bekerja sebagai SPG, karyawati tidak diperkenankan hamil.
Kebingungan Lisa semakin memuncak, manakala dia menyadari bahwa orangtuanya sendiri belum tahu kalau dia sudah menikah. Bagaimana pertanggung-jawaban pada keluarga?
Hari itu juga, ketika dia tahu positif hamil, ia pun menghubungi suaminya supaya datang ke Cirebon. Begitu banyak yang dia perdebatkan dengan suami. Antara keinginan memelihara sang jabang bayi dan rasa takut berkepanjangan karena telah berbuat salah. Suaminya sendiri menunjukkan gelagat yang kurang bertanggung jawab.
Berkali-kali ia menyarankan agar kandungan itu digugurkan saja. Akhirnya, antara ketakutan di-phk baik oleh tempat kerja maupun suaminya, juga rasa bersalah berkepanjangan, dia pun ambil jalan pintas. Dengan segala cara meski harus menanggung sakit dan derita berkepanjangan hingga kini, ia pun menggugurkan kandungannya.
Ternyata persoalan belum juga selesai meski ia telah menggugurkan kandungannya. Suaminya tidak lagi memperhatikannya, bahkan pertengkaran demi pertengkaran senantiasa terjadi jika mereka berkumpul.
Puncak derita itu ketika suaminya mengatakan dengan ketus bahwa ia telah dijodohkan oleh orangtuanya dengan perempuan lain. Tak ada jalan lain, ia pun kehilangan tiga hal:  kegadisan, sang jabang bayi  dan sekaligus suaminya. Ia pun terpuruk. Sedih. Penyesalan pun menggelora tak kunjung henti.
Silvy, cerita tentang temanmu begitu jelas dan gamblang. Kau kisahkan dengan runtut, dan penuh keterbukaan. Tentu saja hal itu dapat kau lakukan karena kau menyimaknya dengan baik setiap kisah  temanmu.Â
Tentu juga dapat dikatakan, kau begitu menyatu dengan temanmu, sehingga setiap denyut perasaannya, seolah kau sendirilah yang merasakannya. Kepedihan temanmu adalah kepedihanmu juga. Kau begitu empatik kepadanya, sehingga apa pun yang dirasakannya kau sendiri pun merasakannya.
Keterampilan semacam ini tidak dimiliki oleh sembarang orang. Hanya orang-orang tertentu yang peka dan berperasaan halus saja yang mampu menerapkannya.
Ada banyak orang yang nampaknya mendengarkan kisah kepedihan temannya, tetapi sayangnya hanya sedikit yang mampu memantul-ulangkan kisah tersebut.
Memang, ada beberapa tingkatan untuk mendengarkan. Ada orang yang mendengarkan hanya sekilas saja, sehingga sehabis mendengar ia lupa akan apa yang didengarnya. Ada lagi orang yang mendengarkan dengan memilih-milih apa yang disenangi. Ia menyeleksi apa yang didengarkannya. Jika yang didengarkan menyenangkan ia memerhatikannya, jika tidak ia mengabaikannya.Â
Selanjutnya ada orang yang mendengarkan dengan penuh perhatian, namun perhatiannya itu tidak mengubah sikapnya untuk menangkap makna yang tidak diucapkan. Jadi meskipun ia memerhatikan, ia tidak dapat mengungkap ulang apa yang didengarkan. Keterampilan yang paling bagus dalam mendengarkan adalah mendengarkan dengan empati.Â
Pendengar menyimak apa yang didengarnya, lalu berhasil menangkap makna dan memantul-ulangkan kembali apa yang ditangkapnya. Keterampilan semacam inilah yang juga kau miliki, Silvy.
Di samping empati, kau juga memiliki kepedulian yang besar terhadap sahabat. Rasa solidaritas, kepekaan, kelembutan, kasih sayang, empati dan jiwa keibuan, itulah kekuatanmu, Vy. Aku yakin, jika hal itu kau pertahankan, apalagi kau tingkatkan, kau dapat menjadi pendamping  yang handal, di samping ibu yang bijak bestari.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI