Mohon tunggu...
Ahmad Sugeng Riady
Ahmad Sugeng Riady Mohon Tunggu... Penulis - Warga menengah ke bawah

Masyarakat biasa merangkap marbot masjid di pinggiran Kota Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Transformasi Bermain Anak

19 Juni 2020   17:51 Diperbarui: 19 Juni 2020   17:47 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: vaxbeforetravel.com

Dunia anak tidak bisa lepas dengan dunia bermain. Setiap bertemu dengan siapa pun, anak pasti ingin bermain. Terlebih saat bertemu dengan teman sebayanya. Seperti dunia dan seisinya milik mereka sendiri, kayak orang yang sedang jatuh cinta.

Saat usia masih belia, teman bermain anak adalah orang tuanya. Segala bentuk dan jenis kekonyolan dari orang tuanya selalu diperlihatkan kepada si anak. 

Mulai dari ciluk ba sampai ngudang, orang tua mesti memberi lelucon-lelucon terbaiknya untuk si anak. Dalam buku Cahaya Rumah Kita, buah karya Marinda Risang Ayu, pada saat-saat itulah, orang tua memperankan tindakan-Nya sebagai ar-Rahman dan ar-Rahim.

Menginjak sedikit dewasa, setelah si anak akrab dengan benda-benda di sekelilingnya, teman bermainnya bukan lagi orang tuanya. 

Melainkan barang-barang mainan yang dibelikan oleh orang tuanya, atau mainan dari sanak keluarga dan tetangga yang membelikannya sebagai wujud bahagia dengan lahirnya si anak. Jika laki-laki, mainannya berupa robot-robotan, bola, dan sejenisnya. Sedangkan boneka, alat memasak, dan semacamnya menjadi pilihan mainan untuk anak perempuan.

Lebih dewasa lagi, kira-kira memasuki sekolah setingkat Paud atau Taman Kanak-Kanak, si anak mulai mengenal orang lain dengan jangkauan yang lebih luas dan lebih beragam dari seisi rumahnya. 

Mulai mengenal istilah teman, ibu guru, ibunya teman, ayahnya teman, penjual gorangan, dan beberapa istilah lain yang lekat dengan pendidikan anak seusia tersebut.

Si anak juga mulai melakukan bentuk-bentuk kenakalan dasar, seperti usil dengan teman sebangkunya. Kemudian dilerai, menangis semuanya, tapi tetap jua bermain seperti awal mula. Ya, hilangnya marah si anak dengan temannya sama dengan cepatnya akrab si anak dengan temannya. Ini adalah dinamika permainan anak-anak.

Memasuki usia Sekolah Dasar, si anak mulai mengenal istilah hukuman dan penghargaan dalam bermain. Hukuman akan diberikan, jika si anak bermain di waktu dan tempat yang tidak tepat. Misalnya ketika di dalam kelas si anak tetap ngobrol, atau menjahili teman sebelah bangkunya, maka si anak akan ditegur, entah dengan ucapan atau tindakan. Sedang anak yang tahu tempat kapan bermain, pun tidak mengganggu temannya saat pembelajaran berlangsung, akan diberi penghargaan oleh guru. Minimal dapat senyum ramah dan predikat anak baik dari mata gurunya.

Bahkan seusai sekolah pun, si anak akan meluangkan waktunya untuk bermain. Dulu, saya pulang Sekolah Dasar sekitar jam 12 siang juga bermain. 

Pulang, ganti baju, makan, sholat, kemudian tidur siang. Bangun tidur sekitar jam 2, teman-teman sudah berkumpul di lapangan. Seringnya kami bermain sepak bola atau pergi ke tempat playstation. Karena memang laki-laki semua, sedang yang perempuan agak menepi, bermain semacam kejar-kejaran dan masak-masakan di pinggir lapangan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun