Mohon tunggu...
aldis
aldis Mohon Tunggu... Arsitektur Enterprise

Arsitektur Enterprise, Transformasi Digital, Travelling,

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Choice Paradox, Decission Dilema : Lebih Banyak Pilihan Justru Lebih Resah ?

3 Oktober 2025   17:15 Diperbarui: 4 Oktober 2025   09:12 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Di pagi yang masih basah oleh embun, ketika matahari baru saja mengintip dari balik bukit-bukit hijau yang membentang seperti mimpi anak kecil, mengingatkan betapa sederhananya hidup dimasa kecil dulu. Di kampung kecil kami, memilih sarapan hanyalah antara nasi goreng, nasi kecap atau sop ubi  dari kantin sekolah, dan itu sudah cukup membuat hati riang sepanjang hari. Tapi kini, di kota yang hiruk-pikuk ini, rak-rak supermarket memamerkan ratusan jenis sereal, dan tiba-tiba saja, pilihan itu menjadi beban yang menyiksa jiwa, seperti angin kencang yang mengacak-acak dedaunan kering di musim kemarau.

Konsep Paradox of Choice atau Paradoks Pilihan pertama kali dipopulerkan oleh psikolog Barry Schwartz dalam bukunya yang berjudul The Paradox of Choice, Why More Is Less, yang terbit pada tahun 2004. Ide utamanya sederhana namun mendalam, semakin banyak pilihan yang tersedia, semakin sulit kita membuat keputusan, dan pada akhirnya, kita justru merasa kurang puas dengan apa yang kita pilih. Schwartz menjelaskan bahwa di masyarakat modern, terutama di negara-negara maju, kebebasan memilih dianggap sebagai hak dasar yang meningkatkan kebahagiaan. Namun, kenyataannya, banjir pilihan ini malah menciptakan kecemasan, penyesalan, dan bahkan kelumpuhan dalam bertindak.

Bayangkan saja, saat Anda berbelanja di supermarket. Dulu, mungkin hanya ada dua atau tiga merek selai kacang. Sekarang, rak itu penuh dengan varian organik, rendah gula, dengan tambahan cokelat, atau bahkan yang dibuat dari kacang almond. Sebuah studi yang dilakukan oleh Sheena Iyengar dan Mark Lepper menunjukkan bahwa ketika orang diberi pilihan enam jenis selai, mereka lebih mungkin membeli dan merasa puas dibandingkan ketika diberi 24 pilihan. Paradoks ini muncul karena otak kita harus bekerja lebih keras untuk membandingkan semua opsi, dan setelah memilih, kita sering bertanya-tanya apakah ada yang lebih baik yang terlewat.

Tidak hanya dalam belanja, paradoks ini merembet ke berbagai aspek kehidupan. Di dunia kerja, misalnya, generasi muda kini dihadapkan pada ribuan lowongan pekerjaan melalui aplikasi seperti LinkedIn atau Jobstreet. Alih-alih merasa bebas, banyak yang mengalami decision fatigue atau kelelahan keputusan, di mana setelah membuat beberapa pilihan kecil sepanjang hari, kemampuan kita untuk memutuskan hal penting menjadi terganggu. Schwartz membedakan antara maximizer, orang yang selalu mencari yang terbaik, dan satisficer, yang puas dengan yang cukup baik. Menurutnya, menjadi satisficer justru lebih sehat karena mengurangi stres.

Sementara itu, Decision Dilemma atau Dilema Keputusan adalah kondisi di mana seseorang terjebak antara dua atau lebih pilihan yang sama-sama menarik atau berisiko, menyebabkan konflik internal yang dalam. Ini sering kali terkait dengan paradoks pilihan, tapi lebih fokus pada situasi spesifik di mana tidak ada jawaban yang jelas benar. Penyebabnya bisa berasal dari tekanan stres, ketakutan akan kegagalan, atau nilai-nilai yang bertabrakan. Dalam psikologi, dilema ini bisa memicu anxiety atau kecemasan, di mana orang cenderung menunda keputusan atau bahkan menghindarinya sama sekali.

Dampak dari kedua konsep ini terhadap kesehatan mental cukup serius. Menurut Schwartz, terlalu banyak pilihan bisa meningkatkan tingkat depresi dan kesepian karena kita terus-menerus membandingkan diri dengan kemungkinan alternatif yang lebih baik. Sebuah meta-analisis pada tahun 2010 menemukan bahwa meskipun efek paradoks pilihan tidak selalu konsisten, faktor seperti kompleksitas pilihan dan ketidakpastian preferensi bisa memperburuknya. Di sisi lain, dilema keputusan yang berkepanjangan bisa menyebabkan stres kronis, yang memengaruhi sistem saraf dan bahkan kesehatan fisik, seperti gangguan tidur atau masalah pencernaan.

Di Indonesia, fenomena ini semakin terasa dengan kemajuan teknologi dan urbanisasi. Bayangkan remaja di Jakarta yang harus memilih jurusan kuliah dari ratusan program studi, atau pekerja freelance yang dihadapkan pada puluhan proyek di platform seperti Upwork. Survei dari Kementerian Kesehatan menunjukkan peningkatan kasus kecemasan di kalangan muda, yang sebagian bisa dikaitkan dengan overload pilihan ini. Bahkan di pasar tradisional, yang dulu sederhana, kini mulai dipenuhi varian impor yang membuat pembeli bingung.

Untuk mengatasi paradoks pilihan, Schwartz menyarankan beberapa strategi praktis. Pertama, batasi jumlah opsi yang Anda pertimbangkan. Misalnya, saat belanja online, tentukan kriteria awal seperti harga maksimal atau merek favorit, lalu abaikan yang lain. Kedua, belajar menjadi satisficer dengan menerima bahwa baik sudah cukup, bukan harus sempurna. Ketiga, kurangi penyesalan dengan fokus pada manfaat pilihan yang diambil, bukan yang dilewatkan.

Untuk dilema keputusan, strategi coping termasuk memecah masalah menjadi langkah kecil, berkonsultasi dengan orang terdekat, atau menggunakan teknik seperti pros-cons list. Psikolog merekomendasikan mindfulness untuk mengurangi stres, di mana Anda fokus pada saat ini daripada khawatir akan konsekuensi masa depan. Dalam konteks bisnis, perusahaan seperti Apple sukses karena membatasi varian produk, sehingga konsumen tidak overwhelmed.

Studi kasus menarik datang dari TED Talk Schwartz, di mana ia menceritakan tentang jeans. Dulu, hanya satu ukuran, sekarang ratusan model, tapi bukannya bahagia, orang justru merasa jeans mereka tidak pernah pas sempurna. Di bidang kesehatan, pasien yang dihadapkan terlalu banyak pilihan pengobatan sering kali menunda perawatan, yang berbahaya.

Di era digital, platform seperti Netflix atau Spotify memperburuk paradoks ini dengan algoritma yang menawarkan ribuan rekomendasi. Hasilnya, banyak orang menghabiskan waktu lebih lama memilih daripada menikmati konten. Solusinya, gunakan fitur playlist kurasi atau batasi waktu pencarian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun