Pada suatu siang teduh, ketika adzan Jumat menggema di kota kecilku, denting masa lalu seakan ikut bergetar di udara. Suara muazin yang melayang dari menara masjid tua bercampur dengan deru angin yang membawa aroma tanah basah selepas hujan. Di sela-sela keramaian orang bergegas menuju rumah ibadah, aku teringat pada sebuah peristiwa jauh di Jakarta, di Istana Negara, di mana sejarah menulis ulang dirinya dengan caranya yang mungkin tak pernah kita duga. Di bawah kubah putih yang sakral, Presiden Prabowo Subianto melantik Djamari Chaniago sebagai Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan. Bagi sebagian orang, peristiwa itu sekadar pergantian pejabat tinggi. Tetapi bagi mereka yang mengikuti perjalanan panjang sejarah bangsa ini, ada gema emosional yang lebih dalam. Di hadapan publik, seorang Presiden yang pernah diberhentikan atas rekomendasi Dewan Kehormatan Perwira justru mengulurkan tangan kepada sosok yang ikut menandatangani keputusan pahit itu.
Kisah ini menyerupai novel kehidupan, penuh paradoks, luka, dan pemulihan. Barangkali, sejarah memang gemar menulis ulang dirinya dengan cara yang mengejutkan. Yang menarik bukan hanya peristiwa politik itu sendiri, melainkan cara seorang pemimpin menafsirkan pengalaman masa lalu dan menyusunnya kembali menjadi narasi baru. Di sinilah lensa psikologi komunikasi memberi kita ruang untuk memahami bahasa kepemimpinan, pengelolaan makna, dan strategi rekonsiliasi yang tersimpan di balik keputusan politik besar.
Membingkai Ulang Masa Lalu dan Seni Rekonsiliasi
Ada saatnya kita belajar bahwa pengalaman hidup bukanlah kenyataan mutlak, melainkan tafsir yang kita beri makna melalui bahasa dan pikiran. Prinsip yang paling mendasar adalah bahwa peta bukanlah wilayah. Peta hanyalah representasi, bukan kenyataan yang sebenarnya. Begitu pula dengan ingatan tentang masa lalu, ia hanyalah tafsir yang dapat diubah kerangkanya.
Ketika Edna Caroline Pattisina dari Indonesia Strategic and Defence Studies menilai bahwa Prabowo tidak mengutamakan dendam, ia sesungguhnya sedang menyinggung kemampuan seorang pemimpin untuk membingkai ulang makna masa lalu. Fakta historis memang mencatat bahwa Djamari Chaniago ikut merekomendasikan pemberhentian Prabowo pada 1998. Namun, dua dekade kemudian, makna peristiwa itu tidak lagi dibaca sebagai pengkhianatan, melainkan sebagai pengalaman kolektif yang membentuk jati diri.
Membingkai ulang ini penting dalam politik Indonesia yang sarat memori konflik. Dengan kerangka baru, seorang lawan bisa menjadi sekutu. Musuh masa lalu dapat menjadi penghubung masa depan. Membingkai ulang bukan sekadar retorika, melainkan strategi kepemimpinan yang menuntut keberanian mengubah tafsir atas pengalaman pahit.
Prabowo tidak menolak masa lalu, tetapi ia menempatkannya dalam bingkai yang lebih besar. Ia memberi pesan bahwa sejarah tidak melulu berisi dendam, melainkan juga ruang bagi rekonsiliasi. Pada titik inilah, publik melihat bukan hanya perubahan strategi politik, melainkan perubahan psikologis yang dalam.
Kedekatan Personal dan Lingkaran Polkam
Ilmu psikologi juga berbicara tentang rapport, yaitu keterhubungan emosional yang lahir dari pengalaman bersama. Dalam narasi Edna, dijelaskan bahwa hubungan Prabowo dan Djamari berawal dari Akabri. Djamari adalah letting 1971, Prabowo masuk pada 1973, lalu bergabung dengan angkatan 1974 karena sempat tinggal kelas. Djamari pernah menjadi komandannya. Hubungan senior-junior dalam tradisi militer tidak hanya administratif, melainkan emosional.
Keterhubungan yang terbentuk di masa muda itu bertindak sebagai jangkar emosional. Kenangan akan masa pendidikan, komando, dan kedekatan di Akabri menjadi titik pengikat yang lebih kuat daripada pengalaman pahit pemecatan. Jangkar emosional inilah yang memungkinkan rekonsiliasi, karena emosi positif mampu menetralkan luka lama.
Fenomena ini juga memperlihatkan pentingnya sistem keyakinan bersama. Lingkaran politik dan keamanan yang kini dikelilingi oleh tokoh militer angkatan 70-an, termasuk Prabowo, Djamari, dan Sjafrie Sjamsoeddin, menunjukkan adanya kesamaan latar, bahasa, dan budaya. Kesamaan sistem keyakinan mempercepat proses penyamaan visi. Tidak mengherankan jika Edna menduga kebijakan polkam ke depan akan lebih seragam, karena mindset mereka dibentuk dalam lingkungan dan era yang sama.