Namun, di balik itu tersimpan pertanyaan reflektif: apakah kesamaan ini memperkuat stabilitas, atau justru mengurangi ruang bagi perbedaan suara yang kritis? Jawaban atas pertanyaan itu akan sangat menentukan arah kebijakan politik dan keamanan Indonesia ke depan.
Pola Pikir dan Bahasa Kepemimpinan
Di psikologi  juga memperkenalkan kita pada istilah pola pikir kepemimpinan, yaitu kecenderungan seseorang dalam mengambil keputusan. Dalam kasus ini, Prabowo tampaknya lebih mengedepankan orientasi menuju tujuan dibandingkan sikap menghindari ancaman.
Jika ia memilih menghindari, ia mungkin akan menjauhi orang-orang yang pernah melukainya. Tetapi orientasi menuju tujuan membuatnya fokus pada manfaat strategis: pengalaman Djamari, otoritas senioritasnya, dan simbol rekonsiliasi yang bisa memperkuat citra kepemimpinan.
Selain itu, pola bahasa yang muncul dalam narasi publik juga penting. Edna mengatakan Prabowo "tidak mengutamakan dendam, tetapi merujuk pada pengalaman dan hubungan personal di masa lalu." Kalimat ini mengandung pesan tersirat bahwa masa lalu hanya menjadi referensi, bukan penentu mutlak masa depan. Pola bahasa seperti ini membantu membentuk frame positif dalam komunikasi politik.
Dengan demikian, pilihan Prabowo pada Djamari tidak hanya mencerminkan strategi politik, tetapi juga strategi komunikasi. Ia menggunakan bahasa rekonsiliasi untuk membentuk persepsi publik. Politik, dalam hal ini, bukan hanya soal kekuasaan, tetapi juga soal pengelolaan narasi.
Pada akhirnya, kisah Prabowo dan Djamari mengingatkan kita pada satu hal yang sederhana namun sering terlupakan. Sejarah memang menyimpan luka, tetapi manusia selalu memiliki kemampuan untuk menafsirkan ulang, memaafkan, dan melanjutkan langkah. Dalam politik, kemampuan itu bahkan menjadi modal terbesar untuk merawat kebangsaan.
Di halaman istana, di mana sumpah jabatan diucapkan, tampak dua sosok yang dahulu pernah berdiri di sisi berseberangan kini berdiri berdampingan. Seperti sahabat lama yang kembali dipertemukan oleh takdir, mereka memperlihatkan bahwa dendam tidak selamanya harus diwariskan. Dengan bahasa, dengan pengalaman, dengan kerangka baru, mereka memilih untuk berjalan bersama.
Barangkali inilah pelajaran terpenting dari peristiwa itu. Bahwa kepemimpinan bukan hanya perkara menguasai, melainkan perkara menafsirkan ulang kehidupan. Bahwa dendam bisa dikalahkan oleh bahasa yang tepat, dan luka bisa disembuhkan oleh keberanian untuk membuka bab baru. Sejarah menulisnya dengan tangan dingin, tetapi manusia menafsirkannya dengan hati.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI