Parepare. Kota kecil di pesisir Selat Makassar, Sulawesi Selatan, dikenal sebagai kota kelahiran B.J. Habibie, Presiden ke-3 Republik Indonesia. Dengan panorama Pantai Lumpue yang menawan dan pesona Kebun Raya Jompie yang hijau, kota ini menyimpan potensi besar meski sering terhambat oleh keterbatasan akses ke layanan keuangan modern. Di tengah kehidupan masyarakat Bugis yang kental dengan semangat gotong royong dan perdagangan, Pegadaian hadir sebagai pelopor transformasi digital, membawa solusi keuangan yang inklusif dan inovatif. Tulisan ini mencoba berbagi bagaimana layanan digital Pegadaian telah mengubah kehidupan masyarakat Parepare, memperkuat literasi keuangan, dan mendukung perekonomian lokal. Transformasi ini sejalan dengan dua teori ilmiah, yaitu Teori Difusi Inovasi dan Teori Inklusi Keuangan, yang menjadi landasan kuat atas dampak nyata Pegadaian di daerahku.
Warisan Saudagar Bugis-Makassar di Parepare
Sejarah mencatat bahwa masyarakat Bugis-Makassar adalah bangsa pelaut dan pedagang ulung. Sejak abad ke-16, saudagar Bugis sudah melanglang buana hingga ke Johor, Malaka, bahkan Australia Utara. Mereka bukan hanya membawa barang dagangan, tetapi juga nilai budaya: keberanian mengambil risiko, keuletan dalam berusaha, serta kepercayaan pada nilai siri' na pacce (harga diri dan solidaritas).
Semangat inilah yang membentuk karakter ekonomi masyarakat Parepare. Kota pelabuhan ini sejak lama menjadi simpul perdagangan antara pesisir barat Sulawesi dan jalur ke Kalimantan maupun Jawa. Aktivitas ekonomi rakyat, dari pasar tradisional hingga pelabuhan, adalah cerminan semangat saudagar Bugis-Makassar yang tidak pernah berhenti berinovasi. Jika dulu para saudagar mengandalkan perahu pinisi sebagai sarana distribusi, kini masyarakat Parepare punya "perahu digital" berupa aplikasi Pegadaian yang memungkinkan mereka tetap berdagang, menabung, dan berinvestasi tanpa terikat ruang dan waktu.
Dalam budaya Bugis, emas selalu menempati posisi penting, baik sebagai simbol status, warisan keluarga, maupun tabungan masa depan. Maka, layanan seperti Tabungan Emas dan Cicil Emas dari Pegadaian Digital bukanlah hal asing, justru sejalan dengan tradisi lama masyarakat Bugis yang terbiasa menjadikan emas sebagai bentuk investasi aman. Perubahan hanya terjadi pada cara: dari menyimpan emas di rumah menjadi menabung secara digital, dari menggadaikan emas ke tetangga atau saudagar besar menjadi mengakses aplikasi yang aman dan transparan.
Digitalisasi : Perahu Baru bagi UMKM dan Masyarakat
Kehidupan sehari-hari masyarakat Parepare banyak berpusat pada perdagangan, baik di Pasar Senggol, Pasar Lakessi, maupun Pasar Sumpang. Pedagang kain, penjual ikan, hingga pengrajin sarung sutera Bugis semuanya memiliki kebutuhan yang sama: akses cepat ke modal. Pegadaian Digital menjawab kebutuhan itu. Seorang pedagang cukup memotret barang jaminan, mengunggah dokumen, dan menunggu persetujuan dalam hitungan jam. Jika dulu seorang saudagar Bugis harus menjual sebagian barang dagangannya untuk mendapatkan modal melaut, kini pedagang kecil di Parepare bisa melakukannya dengan ponsel.
Selain gadai, fitur Tabungan Emas menjadi pintu masuk inklusi keuangan. Dengan nominal mulai 0,01 gram, masyarakat dengan penghasilan terbatas kini bisa berinvestasi. Tukang ojek, penjual ikan, atau mahasiswa dapat menabung sedikit demi sedikit, meneruskan pepatah Bugis napolo riolo tessituruseng (sedikit demi sedikit lama-lama menjadi bukit). Cicil Emas pun membantu masyarakat merencanakan masa depan, seperti biaya pendidikan anak atau persiapan hari tua.
Lebih jauh, Pegadaian mendukung UMKM melalui Kredit Usaha Rakyat (KUR) Syariah yang bisa diajukan secara online. Pedagang coto Makassar di Pasar Senggol, misalnya, dapat memperluas usahanya dengan modal ini. Marketplace UMKM di aplikasi Pegadaian bahkan membuka peluang baru: produk lokal Parepare bisa menjangkau pasar nasional. Jika dahulu saudagar Bugis membawa sutera ke Malaka atau Jawa, kini pengrajin sarung sutera bisa menjualnya langsung ke Jakarta hanya dengan sentuhan jari. Transformasi ini menegaskan bahwa semangat dagang Bugis tidak pernah pudar, hanya berganti medium dari layar pinisi ke layar smartphone.
Keamanan juga menjadi perhatian utama. Dengan enkripsi mutakhir dan verifikasi berlapis, Pegadaian menjaga data nasabah. Ini penting, sebab dalam budaya Bugis, kepercayaan (lempu'Â -- kejujuran) adalah modal terbesar dalam berdagang. Saudagar Bugis rela kehilangan harta asalkan tidak kehilangan nama baik. Nilai itu kini hidup dalam dunia digital: tanpa kepercayaan, transaksi tidak akan bertahan.
Dampak bagi Parepare dari Lensa Pakar