Pada suatu pagi di bulan Desember, seorang guru Bahasa Inggris di Amerika menemukan sesuatu yang mengusik batinnya. Ia membaca esai seorang murid yang terlalu rapi, terlalu teratur, nyaris tanpa cacat. Esai itu tidak mengandung kegugupan seorang remaja dalam menyusun kalimat, tidak ada goresan ketidaksempurnaan yang biasanya justru menandai proses belajar. Sang guru pun akhirnya tahu. Muridnya menggunakan ChatGPT, sebuah kecerdasan buatan yang baru saja dirilis pada November oleh OpenAI.
Berita itu menyebar cepat, menyalakan kepanikan di ruang-ruang guru, membuat para pendidik seolah disergap badai tanpa tanda. ChatGPT, yang hanya beberapa minggu sebelumnya tidak dikenal siapa pun, tiba-tiba menjadi bintang utama di dunia pendidikan. Media berlomba-lomba memberitakannya, anak-anak membicarakannya di kantin, dan orang tua mendengarnya dengan rasa cemas.
ChatGPT bukan sekadar program komputer biasa. Ia adalah model bahasa raksasa yang dapat merespons bahasa manusia dengan begitu alami, seolah-olah ia benar-benar memahami. Ia bisa menjawab pertanyaan dengan cepat, menyusun argumen, menulis esai, bahkan menciptakan puisi. Seperti sulap, ia menyuguhkan informasi dan inspirasi tanpa jeda. Versi lanjutannya, GPT-4, bahkan dapat menganalisis gambar dan tautan web, lalu menyusunnya menjadi penjelasan yang runtut.
Dalam sekejap, ChatGPT sudah menyelinap ke aplikasi yang begitu akrab dengan dunia anak muda. Snapchat, Duolingo, dan berbagai platform lain. Anak-anak menemukannya dengan rasa takjub, guru menyambutnya dengan kecemasan, sementara dunia teknologi merayakannya dengan penuh kebanggaan.
Tetapi pertanyaan segera muncul, apa arti dari semua ini bagi pendidikan? Apakah ChatGPT adalah berkah yang akan membantu anak-anak belajar lebih baik, atau justru bencana yang akan membuat mereka malas berpikir?
Kekhawatiran dan Tantangan di Kalangan Pendidik
Panik bukan tanpa alasan. Guru-guru melihat tanda-tanda yang mencemaskan. Jika murid bisa meminta mesin menuliskan esai yang sempurna, untuk apa mereka bersusah payah berpikir, merangkai ide, dan berdebat dengan diri sendiri di tengah malam? Jika jawaban atas soal matematika bisa muncul dalam sekejap, untuk apa menghabiskan waktu memahami rumus, bergulat dengan kesalahan, dan merasakan nikmatnya keberhasilan setelah berjam-jam berusaha?
Kekhawatiran ini bukan hanya soal pekerjaan guru yang mungkin digantikan oleh kecerdasan buatan. Lebih dari itu, ada ketakutan bahwa kemampuan berpikir kritis siswa akan perlahan mati, bahwa rasa ingin tahu mereka akan tergantikan oleh jawaban instan, dan bahwa pendidikan akan kehilangan jiwanya. Proses.
Beberapa sekolah merespons dengan cara yang sederhana, mereka memblokir akses ke ChatGPT di perangkat sekolah. Mereka berharap dengan begitu, anak-anak akan kembali belajar seperti biasa. Namun langkah itu terasa seperti menutup mata ketika badai datang, berharap angin reda sendiri. Sebab, anak-anak tetap bisa mengaksesnya di rumah, di ponsel pribadi, di kafe yang penuh jaringan Wi-Fi gratis. Menutup akses hanyalah menunda kenyataan.
Inilah saatnya kita mengingat kembali teori konstruktivisme Vygotsky. Vygotsky mengajarkan bahwa belajar adalah proses sosial yang terjalin melalui interaksi dengan orang lain. Anak-anak membangun pengetahuannya bukan dari hafalan, melainkan dari percakapan, bimbingan, dan pengalaman bersama guru atau teman sebaya. Guru, dalam pandangan Vygotsky, bukan hanya penyampai informasi, melainkan mediator yang membantu anak menemukan makna.
Dengan perspektif ini, jelaslah bahwa ChatGPT tidak akan mampu menggantikan guru. Ia bisa menjawab, tetapi tidak bisa mendidik. Ia bisa memberi informasi, tetapi tidak bisa membimbing anak-anak memahami mengapa informasi itu penting, bagaimana menggunakannya dengan bijak, dan apa maknanya dalam kehidupan mereka. Justru di tengah banjir informasi yang disediakan AI, peran guru menjadi semakin vital, mereka mengajarkan bagaimana memilah, mengkritisi, dan menafsirkan.