Mohon tunggu...
aldis
aldis Mohon Tunggu... Arsitektur Enterprise

Arsitektur Enterprise, Transformasi Digital, Travelling,

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Post - Holiday Blues : Saat Notifikasi Menghantui dan Mengganti Ketupat

10 Agustus 2025   15:56 Diperbarui: 10 Agustus 2025   17:38 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Inovasi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Jcomp

Libur panjang Lebaran 2025 baru saja menutup tirainya. Jalanan kota yang seminggu lalu dipadati arak-arakan mobil keluarga menuju kampung halaman, kini kembali berdenyut dalam ritme yang lebih membosankan: kantor--rumah--kantor. Aroma opor ayam yang dulu menempel di udara tergantikan oleh bau kopi instan di meja kerja. Dan layar ponsel, yang beberapa hari lalu penuh dengan foto keluarga tersenyum di depan rumah nenek, atau panorama pantai yang diambil terburu-buru sebelum matahari tenggelam, kini berganti wajah: notifikasi email dari bos, reminder rapat, dan pesan di grup kerja yang tanpa malu bertanya, "Deadline-nya sudah sampai mana?"

Ada rasa aneh di dada. Campuran sedih, malas, dan cemas. Orang psikologi kota menyebutnya post-holiday blues. Bagi saya, ini semacam jet lag emosional, tapi tanpa naik pesawat. Dan di zaman sekarang, di mana hampir setiap denyut hidup kita diukur oleh layar, blues ini tak hanya datang dari berakhirnya liburan. Ia datang dari teknologi yang, tanpa kita sadari, memberi dan mengambil dalam waktu yang sama.

Lebaran, pada hakikatnya, adalah jeda yang disucikan. Ia bukan sekadar cuti, melainkan perayaan kemenangan batin setelah sebulan menahan diri. Tapi di luar dimensi religius, ia juga pelarian yang sahih dari hidup yang kian terburu-buru. Teori pelarian atau Escape Theory dari Iso-Ahola (1982) pernah mengatakan: manusia pergi berlibur bukan hanya untuk menikmati yang indah, tapi juga untuk menjauh dari yang melelahkan - tekanan pekerjaan, konflik sosial, atau sekadar kejenuhan yang membatu di hati.

Tapi di tahun 2025 ini, pelarian itu sudah tidak lagi murni. Kita membawa serta benda kecil persegi panjang itu ke manapun - ponsel pintar, yang pintar sekali mengingatkan kita tentang pekerjaan bahkan di saat kita ingin melupakannya. Ketika sedang menyendok opor, masuk notifikasi pull request. Saat mengupas ketupat, datang pesan, "Mas, ada bug di server, urgent."

Teknologi seperti itu ibarat pintu yang tidak pernah kita kunci. Saat liburan, ia mengantar kita ke tempat-tempat baru - aplikasi peta menuntun kita ke pantai tersembunyi, Instagram menyimpan senyum-senyum keluarga dalam bingkai digital, video call menghapus jarak antara anak rantau dan orang tua di kampung. Tapi pintu yang sama juga membiarkan pekerjaan menyelinap masuk tanpa mengetuk.

Begitu liburan usai, teknologi berubah wujud dari pemandu wisata menjadi alarm kantor. Ia mengundang kita kembali ke rutinitas tanpa memberi waktu untuk menaruh koper batin. Saya menyebutnya digital whiplash, semacam hentakan mendadak dari suasana bebas ke suasana terikat, di mana otak yang seminggu lalu hanya memikirkan rute mudik, kini dijejali notifikasi Slack, Jira, dan WhatsApp kantor yang penuh tugas tertunda.

Dan ini bukan hanya soal pekerjaan menumpuk. Ini tentang "paradoks konektivitas." Saat liburan, konektivitas membuat kita dekat dengan orang-orang yang kita sayangi. Begitu kerja dimulai, konektivitas yang sama terasa seperti borgol. Ia menuntut kita untuk selalu online, selalu siap menjawab, seakan hidup ini adalah satu ruang obrolan besar yang tak pernah bisa kita tinggalkan.

Saya pernah melihat teman yang bekerja di divisi network operation - sosok yang biasanya bergurau tentang kabel dan server. Setelah libur Lebaran, wajahnya pucat. Bukan karena sakit, tapi karena harus mengejar backlog pekerjaan yang menumpuk seperti antrean kapal di pelabuhan. "Rasanya kayak baru bangun dari mimpi, lalu diseret masuk rapat," katanya. Saya tahu persis perasaan itu.

Namun, teknologi yang sama yang menjadi sumber masalah juga menyimpan kunci solusi - kalau kita mau menggunakannya dengan bijak.

Pertama, ada yang disebut digital mindfulness. Ini bukan sekadar meditasi dengan aplikasi di ponsel, melainkan keberanian untuk memberi jarak antara kita dan layar. Menonaktifkan notifikasi di luar jam kerja, menggunakan fitur do not disturb, atau menghapus aplikasi kerja dari layar utama untuk sementara. Andrea Hirata mungkin akan bilang, "Hidup bukan hanya tentang menjawab pesan, tapi tentang mendengarkan detak jantung sendiri."

Kedua, kita bisa memanfaatkan teknologi untuk membuat transisi lebih manusiawi. Aplikasi manajemen tugas seperti Trello, Asana, atau modul manajemen proyek di ERP bisa menjadi "jembatan masuk" ke dunia kerja. Mulailah dari hal kecil, seperti membereskan bug minor atau membalas email ringan, sebelum menggarap proyek besar. Seperti pemanasan sebelum berlari, otak pun perlu pemanasan sebelum kembali maraton bekerja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun