Mohon tunggu...
aldis
aldis Mohon Tunggu... Arsitektur Enterprise

Arsitektur Enterprise, Transformasi Digital, Travelling,

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Reuni Digital : Undangan Berjumpa Diri Kita Yang Lama

10 Agustus 2025   14:40 Diperbarui: 10 Agustus 2025   14:40 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Inovasi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Jcomp

Beberapa waktu lalu, di sebuah warkop kecil di sudut kota, saya sedang menyeruput kopi tubruk bersama teman kantor. Sambil berbagi gorengan yang entah sudah berapa kali digoreng ulang, mata saya tertumbuk pada sebuah ruangan di lantai atas, tepat sebelum balkon. Di sana, kursi-kursi plastik berderet rapi, dan dari celah pintu yang terbuka, terdengar tawa yang riuh---tawa yang khas, lepas, dan penuh nada masa remaja.

Itu bukan pesta ulang tahun, bukan pula rapat komunitas. Itu adalah reuni SMP.

Di balik pintu itu, saya melihat wajah-wajah yang telah berubah. Ada kerutan di sudut mata, ada rambut yang memutih, ada perut yang, bagaimana ya mengatakannya, tampak seperti bantal kecil yang dibawa ke mana-mana. Tapi di tengah semua perubahan fisik itu, ada sesuatu yang tetap: rasa akrab yang tidak bisa dibeli di toko mana pun.

Tidak ada formalitas berlebihan. Tidak ada panggung megah. Tidak ada MC bersuara bak penyiar radio. Hanya meja panjang penuh makanan sederhana, tawa yang meledak karena cerita konyol di kelas dulu, dan pelukan hangat dari teman sebangku yang dulu suka tukar bekal tahu isi.

Namun, dari tempat duduk saya di warkop, saya menyadari sesuatu yang lebih dalam sedang terjadi di sana. Reuni itu bukan hanya soal bertemu orang lama. Ia adalah ruang pertemuan dengan diri kita yang lama---diri yang mungkin sudah kita simpan di laci terdalam hidup kita.

Beberapa orang yang saya lihat kini telah menjadi orang tua, sibuk dengan pekerjaan dan urusan rumah tangga. Tapi di reuni itu, mereka berbagi kisah yang tak mungkin mereka tulis di status media sosial: tentang kegagalan yang nyaris membuat putus asa, tentang kehilangan orang tua, tentang tantangan membesarkan anak di era digital, tentang dunia kerja yang keras.

Saya teringat suatu pendekatan komunikasi dan pengembangan diri yang percaya bahwa setiap pengalaman membentuk "peta mental" di kepala kita. Saat remaja, kita membangun peta itu melalui pengalaman emosional: guru killer yang membuat takut, keberhasilan kecil yang membuat bangga, hingga cinta pertama yang tak kesampaian.

Dan ketika kita hadir di reuni, kita sebetulnya sedang membuka kembali peta itu. Kita tidak hanya bertemu teman lama, tetapi juga bertemu ulang dengan diri sendiri di masa lalu.

Seorang teman yang saya kenal sejak dulu bercerita, "Aku baru sadar, dulu aku suka banget nulis puisi. Tapi sejak menikah dan kerja, kayaknya aku lupa caraku mengekspresikan diri." . Tanpa sadar ia mengakses kembali potensi lama yang sebenarnya tidak pernah benar-benar hilang dari dirinya.

Reuni, dalam hal ini, menjadi semacam tombol "pulihkan" dalam diri kita. Persis seperti fitur di aplikasi ponsel yang bisa mengembalikan file lama yang pernah kita hapus, ternyata kenangan dan potensi diri pun bisa dipanggil kembali.

Tapi, tentu saja, reuni juga bisa menjadi ruang penyembuhan. Ada orang yang mungkin dulu merasa tersisih di sekolah, atau menjadi korban ejekan. Di usia dewasa, saat kembali bertemu, luka itu ternyata masih ada, walau samar.

Saya pernah menyaksikan momen yang menggetarkan: seorang teman yang dulu sering menjadi sasaran olok-olok akhirnya dipeluk erat oleh teman yang dulu mengejeknya. "Aku nggak sadar dulu kata-kataku menyakitkan," katanya. Tanpa disadari, reuni menjadi terapi gratis, tanpa terapis, tapi dengan hasil yang kadang lebih dalam dari sesi konseling berbayar. Ini mirip timeline therapy---menyusuri kembali masa lalu untuk menyembuhkan luka. Bedanya, reuni tidak memerlukan ruang steril atau kursi nyaman. Cukup meja plastik, segelas es teh manis, dan keberanian untuk berkata maaf.

Yang menarik, di zaman sekarang, teknologi informasi membuat reuni tidak lagi terbatas pada satu sore di satu ruangan. Grup WhatsApp alumni bekerja seperti mesin waktu. Dalam satu grup, kita bisa menemukan kembali teman lama yang kini tinggal di negara lain, membaca ulang candaan khas kelas dulu, bahkan mengirim foto hitam-putih dari masa kita berbaris upacara.

Namun, teknologi juga mengubah wajah reuni. Jika dulu kita benar-benar menebak-nebak kabar teman lama sebelum bertemu, kini kita sudah bisa "mengintip" kehidupannya lewat media sosial. Kita sudah tahu siapa yang sukses, siapa yang menikah tiga kali, siapa yang hobi naik gunung, bahkan siapa yang tiba-tiba jadi pengusaha madu organik.

Pertemuan fisik jadi kehilangan sedikit unsur kejutan, tapi teknologi memberi hal lain: kesinambungan. Reuni bukan lagi peristiwa yang terjadi lima atau sepuluh tahun sekali. Ia berlangsung setiap hari, di layar ponsel kita. Setiap "selamat pagi" di grup alumni, setiap foto nostalgia yang diunggah, adalah versi mini dari reuni itu sendiri.

Tapi ada bahaya kecil di sini. Media sosial dan WhatsApp sering memunculkan versi diri kita yang sudah dikurasi---diedit, disaring, dipoles. Reuni fisik, di sisi lain, adalah tempat di mana semua itu runtuh. Anda tidak bisa menyembunyikan kerutan di wajah, atau rasa gugup saat berbicara di depan banyak orang.

Dan justru di situlah keindahannya. Reuni adalah ruang offline yang memaksa kita jujur. Sementara teknologi adalah cermin yang bisa memantulkan wajah yang kita mau, reuni adalah cermin yang memantulkan wajah yang kita punya.

Saya membayangkan, mungkin di masa depan, teknologi akan membawa reuni ke tingkat yang lebih aneh. Kita bisa menghadiri reuni lewat metaverse, duduk di sebelah versi avatar 3D teman lama kita, dan memesan mie ayam virtual. Tapi entah bagaimana, saya ragu tawa yang kita dengar di situ akan sehangat tawa yang meledak di ruangan berisi kursi plastik dan kipas angin yang berderit.

Karena reuni, pada intinya, adalah soal hadir. Bukan sekadar login.

Bagi saya, reuni adalah investasi emosional. Dalam hidup yang semakin cepat, di mana notifikasi ponsel tidak pernah berhenti, reuni adalah jeda. Ia mengingatkan kita bahwa di balik semua pencapaian dan kegagalan, kita pernah menjadi anak SMP yang takut pada guru matematika, atau remaja yang nekat bolos demi nonton film baru.

Teknologi bisa membantu kita menjaga jembatan itu tetap utuh. Tapi kita harus ingat, jembatan itu tetap perlu dilalui. Tidak cukup hanya memandangi fotonya di galeri ponsel.

Maka, jika suatu hari Anda menerima undangan reuni, entah lewat WhatsApp, email, atau bahkan DM Instagram, jangan buru-buru menolaknya. Mungkin itu bukan sekadar ajakan bertemu teman lama. Mungkin itu adalah undangan untuk bertemu diri Anda yang dulu---diri yang sudah lama menunggu di sisi lain layar ponsel anda.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun