Di sebuah kamar kos yang sempit, diseberang asrama kampus milik pemerintah , seorang mahasiswa semester akhir memandangi layar ponselnya. Ia menggulirkan jempolnya dengan cepat, seperti membalik halaman buku yang tak habis-habis, kecuali bahwa yang ia baca bukan buku, melainkan potongan-potongan narasi tentang seorang tokoh politik yang sedang naik daun.
Foto sang tokoh terpampang gagah, tersenyum di antara anak-anak sekolah, membagikan buku dan pensil. Di video lain, ia menanam pohon, mengusap kepala kucing liar, dan berjalan tanpa alas kaki di desa terpencil. Lagu yang mengiringinya sendu, liriknya seperti dirancang untuk menyentuh hati siapa pun yang menontonnya.
Mahasiswa itu tersenyum, hatinya tergerak. “Ini orang baik sekali,” gumamnya. Ia tidak tahu bahwa sebagian besar konten yang ia tonton telah melewati serangkaian penyuntingan, filter, dan algoritma yang bekerja tanpa lelah di balik layar. Ia tak pernah menyadari bahwa setiap tayangan itu muncul bukan karena kebetulan, melainkan karena mesin pintar telah mempelajari kebiasaannya—artikel apa yang ia baca, akun siapa yang ia ikuti, video mana yang ia tonton sampai selesai.
Inilah wajah politik di era digital: di mana kampanye tidak lagi terbatas pada panggung terbuka, baliho, atau iklan di televisi. Kini, pertarungan citra berlangsung di layar-layar kecil yang kita genggam setiap saat. Layar itu begitu pribadi, begitu dekat, sehingga pesan politik yang menyusup ke dalamnya pun terasa seperti bisikan dari teman lama.
Di masa lalu, membangun mitos tentang seorang tokoh memerlukan waktu bertahun-tahun. Butuh cerita turun-temurun, pemberitaan media, dan pengulangan di banyak forum publik. Tapi sekarang, dengan teknologi digital, mitos bisa dibangun dalam hitungan minggu—atau bahkan hari—dengan menggabungkan potongan gambar, kata-kata manis, dan sedikit sentuhan musik yang tepat.
Masalahnya, mitos yang lahir dari teknologi ini sering kali mengaburkan batas antara kenyataan dan rekaan. Pemilih muda, yang sebagian besar hidupnya berada di ruang digital, menjadi sasaran empuk. Mereka cepat terhubung, tapi juga cepat terpengaruh. Di antara tumpukan informasi yang berseliweran, sulit sekali memisahkan mana yang fakta dan mana yang ilusi.
Di sinilah literasi digital bukan lagi sekadar keterampilan tambahan. Ia adalah pelindung, semacam imunisasi terhadap virus informasi yang menyesatkan. Tanpa itu, kita mudah sekali percaya, apalagi ketika pesan yang disampaikan begitu sesuai dengan apa yang ingin kita dengar.
Antara Mesin, Mitos, dan Masa Depan Demokrasi
Mesin pintar yang kita kenal dengan nama algoritma itu bekerja tanpa lelah, siang dan malam, mengamati perilaku kita di dunia maya. Ia tahu jam berapa kita paling sering membuka ponsel, topik apa yang membuat kita bertahan menonton, bahkan jenis komentar yang kita sukai. Dari semua itu, algoritma membangun peta minat dan emosi kita, lalu menyajikan konten yang paling mungkin membuat kita tersenyum, terharu, atau marah.
Bagi dunia bisnis, ini adalah strategi pemasaran yang cerdas. Tapi bagi dunia politik, ini adalah pedang bermata dua. Di satu sisi, ia memungkinkan tokoh politik menjangkau pemilih muda dengan pesan yang relevan. Di sisi lain, ia memberi peluang besar untuk menciptakan mitos yang terlalu sempurna—sebuah citra yang dirancang lebih oleh kecanggihan teknologi daripada oleh kenyataan di lapangan.
Kita tahu, tak ada manusia yang sempurna. Namun di media sosial, tokoh politik bisa tampak nyaris tanpa cela. Wajah selalu tersenyum, tutur kata selalu bijak, tindakan selalu mulia. Jika ada kekeliruan, itu cepat terkubur di bawah banjir konten positif yang diunggah setiap hari. Seperti cahaya lampu panggung yang menghapus bayangan di belakangnya.