Mohon tunggu...
Ade Sudaryat
Ade Sudaryat Mohon Tunggu... Penerjemah - Penulis Lepas bidang Pendidikan, Agama, dan Budaya

Ade Sudaryat seorang penikmat buku, praktisi pendidikan peminat masalah-masalah sosial, dunia filsafat dan agama

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Musik, Lagu dan Moral

12 Juni 2019   08:10 Diperbarui: 12 Juni 2019   08:18 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

MUSIK dan lagu merupakan salah satu penghias kehidupan manusia di muka bumi. Seperti kata Rhoma Irama, meskipun dunia jadi berisik, dunia akan sepi kurang asik kalau tak ada lagu dan musik. Tak ada satu belahan negeri pun di muka bumi ini yang tak memiliki musik dan lagu.

Konfusius (500 -- 496 SM), seorang filosof Cina berkeyakinan, musik dan lagu dapat mempengaruhi, jiwa, otak, moral, dan mental seseorang.  Musik dapat melunakkan hati yang keras dan memperbaiki temperamen seseorang.  Keutamaan atau kepribadian seseorang bisa ditebak dari musik dan lagu yang sedang digandrunginya, bahkan musik dapat dijadikan barometer politik dan psikologi rakyat  suatu negara.

 "Kalau musik yang muncul dalam suatu masyarakat terdengar muram dan menekan, kami mengetahui bahwa mereka sedang tertekan dan sedih. Jika musiknya terdengar tidak berenergi, sederhana dan panjang, berarti mereka dalam kondisi sedang damai dan bahagia. Jika musik yang muncul terdengar kuat dan bertenaga, kami mengetahui bahwa mereka sedang memiliki semangat. 

Jika musik yang muncul terdengar murni, bernuansa religius, kami mengetahui kesalehan dan kondisi spiritual mereka sedang meningkat. Jika musik yang  muncul terdengar lembut, gembira, dan mendayu-dayu, kami mengetahui bahwa mereka sedang baik hati dan hidup dengan penuh kasih sayang. 

Jika musik yang muncul terdengar cabul, merangsang, dan hingar bingar, kami mengetahui bahwa mereka sedang tidak bermoral. Apabila lingkungan rusak, kehidupan binatang dan tanaman akan ikut rusak, dan apabila dunia sedang kacau, ritual dan musik jadi tidak bermoral. Kami juga menemukan musik sedih tanpa henti dan gembira tanpa ketenangan. 

Melalui musik, para pemimpin berusaha menciptakan harmoni dalam hati manusia, yaitu dengan menemukan kembali sifat manusia dan mencoba mempromosikan musik sebagai cara untuk menyempurnakan budaya manusia. Kalau musik seperti itu muncul dan rakyat dibimbing menuju gagasan dan aspirasi yang benar, kita akan melihat munculnya sebuah negara yang kuat." Demikian ujar Konfusius.

Pendapat Konfusius tersebut sangatlah tepat, hampir semua orang terpengaruh oleh alunan musik dan lagu. Para pemain sepak bola menjadi semangat tatkala para suporter memberikan yel-yel motivasi melalui lagu-lagu yang dinyanyikan secara bersama-sama. Perjuangan bangsa kita dalam merebut kemerdekaan, juga tak lepas dari sokongan lagu-lagu yang membangkitkan patriotisme. 

Siapapun akan merasakan getaran semangat manakala mendengarkan lagu Halo-Halo Bandung atau Maju tak Gentar. Kita akan dapat merasakan keindahan negeri kita manakala mendengar lagu Rayuan Pulau Kelapa. Demikian pula,  kita akan tergerak sadar untuk mendekatkan diri dan bersyukur kepada Allah manakala kita mendengar lagu Syukur.

Sudah beberapa tahun lamanya, di negara kita selain muncul kebebasan berbicara dan berpendapat di muka umum, juga bebas mengekspresikan pendapat, ideologi, dan kehendak melalui musik dan lagu. Mulai dari musik yang sendu mendayu-dayu, hingar bingar, sampai munculnya lagu-lagu yang liriknya mengkritik pemerintah. 

Lagu-lagu yang bertema vulgar, perselingkuhan, dan berbau porno lengkap dengan tariannya yang seronok pun bermunculan dengan bebas, padahal lagu-lagu yang berbau porno atau bertema perselingkuhan merupakan lagu-lagu yang tidak "bergizi", meracuni otak, dan jiwa orang yang mendengarkannya. Parahnya lagi, yang menyukai, menghafal, melantunkan, dan meniru tarian dari lagu-lagu tersebut adalah anak-anak ingusan yang belum mengerti apa-apa.

Sudah lama di negeri kita kehilangan pembatas antara dunia anak-anak, remaja, dan dewasa. Kini, bacaan, tontonan, dan lagu sudah kehilangan batas usia.  Anak-anak begitu bebas membaca buku atau majalah, dan menonton sinetron dengan cerita yang sebenarnya hanya cocok bagi orang dewasa. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun