Mohon tunggu...
sucahyo adiswasono@PTS_team
sucahyo adiswasono@PTS_team Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Hanya Seorang Bakul Es, Pegiat Komunitas Penegak Tatanan Seimbang. Call Center: 0856 172 7474

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Sistem Pendidikan Nasional yang Terpasung dan Tersandera

12 Februari 2024   03:22 Diperbarui: 12 Februari 2024   03:52 196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Input sumber gambar: pixabay.com

Sekolah, universitas, fakultas, jurusan yang favorit menjadi sangat mahal, menjadi lumbung duit bagi pengajar dan pengurus yang terlingkup di dalamnya. Bayangkan saja, untuk menjadi dokter harus menyiapkan duit milyaran rupiah, maka wajar saja bila mayoritas dokter lebih bersikap komersial daripada kemanusiaan, karena dilatarbelakangi oleh pencapaiannya yang membutuhkan modal besar. Bahkan, bila perlu, masyarakat dibuat sangat bergantung kepada dokter, agar pundi-pundi rupiah mengalir terus ke kantong mereka. Inilah fakta yang mejadikan masyarakat terjebak ke dalam pembodohan massal, menjadi tidak melek kesehatan dan ilmu pengobatan (terapi).

Sebenarnya, demikian pula terhadap fakultas dan jurusan lainnya, yang sekalipun tidak semahal fakultas kedokteran. Maka yang terjadi adalah betapa mayoritas alumnusnya hanya dalam rangka mengejar posisi, jabatan dan raihan pendapatan yang tinggi bin spektakuler.

Jadi, sistem pendidikan kita saat ini sudah tak lagi dalam rangka "Mencerdaskan Kehidupan Bangsa", namun hanya cenderung mencetak mental-mental generasi serakah, generasi-generasi kapitalis dalam melakukan pembodohan demi pembodohan terhadap masyarakat.

Materi-Kurikulum Dominan Teori

Agar waktu tempuh (durasi) pendidikan menjadi panjang, maka Materi Ajar lebih banyak dijejalkan teori-teori yang rumit, renik dan njelimet, sehingga kurang praktis, juga tidak kontekstual. Wajar saja bila peserta didik, begitu lulus, belum siap pakai. Pun demikan halnya, bahwa panjangnya waktu tempuh pendidikan, berdampak mengurangi jenjang masa usia produktif bagi masyarakat.

Apakah perlu menempuh Kuliah S-1 selama 4 (empat) hingga 7 (tujuh) tahun ? Toch, setelah lulus, pengetahuan  skill kerja masih minim? Jikalau waktu tempuh pendidikan bisa dipersingkat, kenapa hal itu tidak dilakukan ? Inilah gambaran kebodohan dan lemahnya pembuat kebijakan bangsa di negeri ini.

Waktu dan jenjang pendidikan pun dibuat sedemikan rupa menjadi panjang dengan memperbanyak teori yang kian menguras kantong masyarakat dan negara. Mayoritas dari guru-gurunya, nyata kurang berkompeten, di samping materi yang sarat dengan teori dan mayoritas guru/dosen yang memposisikan sebagai akademisi, menjadikan sang pengajar kurang menguasai hal-hal praktis.

Padahal, yang disebut Ilmu itu bukan hanya teori, namun harus mewujud dalam kenyataan. Salah satu tujuan dari pendidikan adalah arahan tentang penguasaan skill dan ketrampilan. Maka, wajarlah bila anak didik harus mencapai kelulusannya hingga belasan tahun yang ujung-ujungnya: tidak mempunyai skill kerja apapun.

Sistem Pendidikan yang Sangat Tidak Efektif dan Efisien

Anggaran pendidikan di negara kita ini, terhitung sangat besar dan boros. Pada APBN 2019, Negara menganggarkan sektor pendidikan: Rp. 500 trilyun. Dari jumlah tersebut, 60 % atau kisaran Rp. 300 trilyun, hanya untuk alokasi gaji guru dan tunjangan. Namun parahnya, hasil capaian pendidikan kita: kompetensi yang minim dan tidak sebanding dengan besarnya anggaran. Tak sebanding dengan biaya yang mahal dan waktu yang lama. Sehingga yang mengemuka dari hasil capaian di ranah pendidikan kita adalah gambaran yang lebih menampakkan kebohongan dan membodohi masyarakat.

Bagaimanakah model sistem pendidikan Pancasila sebagai sistem pendidikan seimbang yang efektif dan efisien? 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun