Angka-angka transportasi dipenuhi hitungan kendaraan per jam, liter bahan bakar yang terbakar, dan panjang kilometer jalan yang dibangun.
Tapi siapa yang menghitung jumlah langkah kaki? Siapa yang memikirkan betapa rentannya manusia di tengah derasnya arus mesin?
Dulu, sebelum kendaraan bermotor menjadi penguasa jalanan, langkah kaki adalah ukuran jarak dan waktu.
Manusia berjalan untuk menuju pasar, sekolah, atau rumah tetangga. Ruang hidup dibangun sedekat mungkin dengan pusat aktivitas.
"Irama manusia" terasa di setiap sudut: suara sapa, anak-anak berlarian, pedagang yang memanggil pelanggan dari kejauhan. Kini, irama itu terhimpit oleh deru mesin.
Pengalaman berjalan di kota padat seperti menyusuri lorong yang semakin menyempit.
Bukan hanya trotoar yang direbut parkiran dan lapak dagangan, tapi juga mentalitas kota yang menganggap pejalan kaki sebagai "pengguna jalan kelas dua".
Sebuah ironi: di tempat yang padat bangunan dan minim lahan, solusi yang diambil justru memfasilitasi kendaraan bermotor, bukan memperbaiki jalur pejalan kaki.
Aku pernah mencoba berjalan sejauh satu kilometer di pusat kota. Waktuku habis bukan karena jarak, tetapi karena harus berulang kali berhenti menghindari kendaraan yang memotong jalur, melompati genangan air dari saluran tersumbat, atau berputar jauh karena trotoar terblokir.
Setiap langkah terasa seperti perjuangan kecil melawan kota yang tidak pernah benar-benar memikirkan diriku sebagai pejalan kaki.
Kemacetan bukan hanya soal keterlambatan. Ia adalah sumber polusi udara yang tak terlihat tapi menggerogoti setiap tarikan napas.