Mohon tunggu...
Subarkah
Subarkah Mohon Tunggu... Freelance

Suka nulis, suka nonton film, suka baca

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Mengapa Kita Menjauh dari Orang Dengan Gangguan Jiwa

10 Agustus 2025   02:11 Diperbarui: 10 Agustus 2025   02:11 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto oleh ali abiyar di Unsplash 


Sebuah refleksi tentang stigma terhadap orang dengan gangguan jiwa, mengupas akar ketakutan kita dan mengajak memandang mereka secara lebih manusiawi.


Ketika seseorang berbicara sendiri di trotoar, bertelanjang dada dengan tatapan yang sulit dibaca, sebagian besar dari kita akan memilih untuk menjauh. Jarak itu tidak hanya fisik, tetapi juga emosional. Ada ketakutan yang sulit dijelaskan, seolah kehadiran mereka mengusik sesuatu dalam diri kita. Artikel ini mengajak kita merenungkan asal-usul jarak tersebut, dan apakah rasa takut itu benar-benar datang dari mereka atau dari cermin yang memantulkan rapuhnya kewarasan kita sendiri.

Hujan deras jatuh di luar jendela. Lampu-lampu kota berpendar seperti bintang yang terjebak di genangan air. Mobil-mobil besar melaju dengan cahaya lampu yang menyilaukan mata. Dari kejauhan, pegunungan menyembunyikan dirinya di balik kabut hujan yang berat. Di tengah suasana ini, ingatan saya melayang pada satu sosok yang pernah saya lihat di sebuah trotoar: bertelanjang dada, celana sebatas lutut, berjalan perlahan sambil bergumam. Tangan kirinya mengais tempat sampah, menemukan sebongkah makanan, lalu memakannya dengan tenang. Orang-orang yang lewat menatap sekilas, lalu segera memalingkan wajah. Ada yang menghindar bahkan sebelum jarak mereka cukup dekat.

Kita sering menyebut orang seperti itu dengan satu kata yang memutus semua percakapan: gila. Sebuah label yang menyederhanakan, bahkan mereduksi, seluruh kompleksitas hidup dan sejarahnya menjadi satu stigma. Lalu kita merasa punya alasan untuk menjauh, membangun jarak aman, mengalihkan tatapan. Tapi saya selalu bertanya dalam hati: apakah yang kita takuti benar-benar dia, atau cermin yang memantulkan kemungkinan bahwa suatu hari kewarasan kita pun bisa retak?

Tatapan adalah bahasa pertama sebelum kata-kata. Namun pada mereka yang kita cap sebagai "orang gila", tatapan sering kali berubah menjadi senjata tak kasatmata. Kita melatih diri untuk berjalan lebih cepat, berbelok sebelum berpapasan, atau menurunkan pandangan. Kita membangun jarak fisik sekaligus jarak emosional, seolah keduanya akan melindungi kita.

Namun jarak ini bukan sekadar respon terhadap potensi bahaya. Ia adalah benteng sosial yang dibangun dari warisan ketakutan kolektif. Di banyak budaya, orang dengan gangguan jiwa digambarkan sebagai ancaman, beban, atau aib keluarga. Kisah-kisah di masa kecil, berita kriminal yang dilebih-lebihkan, hingga bisik-bisik tetangga, semuanya meneguhkan citra bahwa mereka adalah "yang lain" atau manusia yang terhapus dari lingkar kewajaran.

Menariknya, saat kita memilih diam, keheningan itu tidak pernah benar-benar sunyi. Ia adalah diam yang bising, dipenuhi prasangka yang berdesakan di kepala. Kita menafsirkan gerakan mereka, nada suara mereka, bahkan cara mereka menatap, sebagai bukti ketidaknormalan. Padahal, di balik semua itu, mungkin ada cerita kehilangan, trauma yang tak tertangani, atau kesepian yang tak pernah diundang duduk bersama.

Di trotoar itu, saya melihatnya menggenggam sepotong roti sisa dengan tatapan kosong ke arah jalan raya. Mungkin ia sedang berbicara pada seseorang yang sudah tiada. Mungkin ia sedang melawan suara-suara di kepalanya. Tapi kita jarang mau tahu. Kita memilih menyebutnya ancaman, lalu berlalu.

Ketika saya mencoba memeriksa rasa takut itu, saya menemukan sesuatu yang mengejutkan: ketakutan itu sering kali tanpa nama. Kita tidak tahu pasti apa yang mereka akan lakukan, namun pikiran kita sudah mengisi kekosongan itu dengan skenario buruk. Di sini, stigma bekerja seperti bayangan yang membesar di bawah cahaya ketidaktahuan.

Lebih dalam lagi, mungkin ketakutan itu adalah proyeksi. Melihat seseorang yang kehilangan kendali membuat kita diingatkan bahwa kewarasan bukanlah benteng beton, melainkan perahu rapuh di lautan badai kehidupan. Kita takut bukan hanya pada mereka, tetapi juga pada kemungkinan bahwa kita bisa menjadi seperti mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun