Tidak semua yang bahagia mengucapkan syukur. Tidak semua yang rugi kehilangan segalanya. Kita sekarang hidup di masa di mana rasa syukur lebih sering diucapkan, tapi jarang benar-benar dijalani.Sebagai status media sosial. Sebagai kalimat penutup setelah menerima kabar baik. Tapi apakah itu cukup?
Tak semua orang bisa senang. Tak semua hal bisa dinikmati. Ada yang kehilangan, ada yang menerima lebih. Tapi dunia tetap berjalan. Kita tetap harus bangun pagi, tetap menahan lapar, tetap menata hati. Dan dalam semua itu, mungkin ada satu hal yang kita lupakan: bahwa syukur bukan sekadar ucapan. Ia adalah tindakan. Ia adalah laku.
Sebuah studi dari Greater Good Science Center di UC Berkeley menyebut bahwa ungkapan syukur bisa meningkatkan kesejahteraan batin. Tapi manfaat itu jauh lebih dalam ketika rasa syukur tidak hanya tinggal di dalam hati atau kata-kata, melainkan mengalir menjadi sesuatu yang menyentuh orang lain. Menjadi tindakan. Menjadi kontribusi. Sayangnya, banyak dari kita berhenti di kata. Kita menyebut nama Tuhan, kita ucapkan "terima kasih", tapi lupa bertanya: siapa yang memungkinkan kita sampai pada titik ini?
Syukur tidak hanya ditujukan pada yang memberi nikmat. Ia juga untuk sesama yang membantu, pada lingkungan yang menopang, pada keadaan yang membentuk. Saat dapat pekerjaan, kita cepat bilang "alhamdulillah". Tapi apakah kita juga ingat untuk bersikap ringan dan tidak mempersulit rekan kerja? Saat panen melimpah, kita ucapkan "puji Tuhan". Tapi pernahkah kita berhenti sejenak untuk mengingat tanah yang menopang, para buruh tani yang bekerja keras, dan musim yang tak selalu bersahabat? Jika tidak, maka syukur kita hanya terdengar, tapi tidak terasa.
Namun syukur sejati selalu mencari jalan untuk hidup. Ia tidak tergantung pada suara, tapi pada arah. Cobalah tengok orang-orang biasa di sekitar kita. Seorang tukang parkir di Surabaya yang selalu memberi kembalian ke pengemis tua di seberang jalan. Seorang pemuda di Bandung yang setiap akhir pekan membersihkan sungai kecil di dekat rumahnya. Seorang ibu di Semarang yang meski buta huruf, tetap mengajari anak-anak tetangga membaca Ada orang-orang di sekitar kita yang tak pernah menyebut diri mereka sebagai "orang bersyukur". Tapi jika dilihat dari apa yang mereka lakukan, itulah syukur yang nyata---tanpa label, tapi terasa.. Tanpa kata. Tanpa kamera. Tanpa pamrih.
Syukur seperti itu bukan hanya menyentuh hati. Ia menggerakkan. Ia menjadi pijakan. Dan lebih dari itu, ia menularkan rasa cukup yang tulus, yang tidak bergantung pada apa yang dimiliki, melainkan pada keinginan untuk berbagi Memang tidak semua orang hidup dengan kesempatan yang sama.Ada yang punya penghasilan tetap, ada yang bergantung pada rejeki harian Ada yang merasa cukup meski sedikit, ada juga yang selalu merasa kurang walau banyak.. Namun siapapun kita, syukur tetap bisa dilakukan. Baik dalam kelebihan, maupun kekurangan.
Yang beruntung bisa menyalurkan kelebihan, bukan memamerkannya. Yang sedang merugi bisa menjaga hati dan tidak menyakiti yang lain Tapi bahkan yang hanya bertahan pun, kadang masih bisa menguatkan orang lain yang sedang lebih lemah. Syukur bukan milik orang senang saja. Syukur bukan milik orang yang selalu berlebih. Ia hadir di hati siapa pun yang masih ingin memberi, walau hanya sedikit.
Di Sleman, seorang pedagang kecil setiap Jumat menyisihkan makanan untuk tukang becak. Alasannya sederhana: "Saya pernah lapar. Seperti seorang pedagang kecil yang pernah berkata, "Saya tahu rasanya lapar. Jadi kalau ada lebih, saya bagi." Itu adalah bentuk syukur yang tak perlu dihias kata-kata, tapi terasa dari apa yang ia lakukan.Tapi nyata, menyentuh, dan bertahan lama dalam ingatan orang lain.
Syukur juga tak bisa dilepaskan dari bagaimana kita memperlakukan bumi yang menopang hidup kita.. Kita sering terkagum-kagum saat melihat keindahan alam, lalu berucap syukur. Tapi apakah kita cukup hanya mengagumi?Gunung, pantai, langit biru. Tapi apakah cukup hanya mengagumi? Rasa syukur pada bumi seharusnya tidak berhenti pada kekaguman. Ia harus menjelma perlakuan. Menjaga laut dari sampah plastik adalah cara kita bersyukur pada kehidupan laut. Tidak menebang pohon sembarangan adalah cara kita menghargai udara yang bersih.
Komunitas EcoNusa di Maluku menunjukkan pada kita, bahwa rasa syukur bisa tumbuh menjadi tindakan nyata untuk menjaga lingkungan. Mereka tak hanya berdoa agar laut tetap bersih. Mereka turun tangan, menyelam, dan membersihkannya.Mereka menyelam dan mengangkat sampah plastik, menanam mangrove, mendidik anak-anak lokal agar mencintai laut sejak dini. Apa yang mereka lakukan mungkin tidak viral. Tapi laut merasakannya. Anak-anak merasakannya. Bumi merasakannya. Syukur mereka tidak berbunyi, tapi terasa.
Kita memang tak tahu apa yang akan datang besok. Tapi hari ini, masih ada pilihan untuk menunjukkan syukur lewat sikap dan tindakan. Tapi hari ini, kita bisa memilih: apakah kita membiarkan rasa cukup hanya menjadi perasaan pribadi, atau kita ubah menjadi energi yang membangun sekitar? Syukur tidak harus spektakuler. Ia bisa sekecil memberi waktu untuk mendengarkan orang yang sedang lelah Syukur bisa sekecil menanggapi keluhan orang lain dengan empati, bukan meremehkan.. Bisa sesederhana menahan keluh di depan mereka yang sedang jauh lebih susah.