Pagi itu cerah. Kopi hitam mengepul pelan di meja, sementara dari luar jendela, aroma tanah basah setelah hujan semalam menguar lembut. Aku duduk diam, membiarkan pagi yang cerah mengalir perlahan, sementara pikiranku terantuk pada satu kalimat yang sudah sering sekali kudengar: "Banyak anak banyak rezeki."
Kalimat itu seperti warisan turun-temurun --- diucapkan penuh keyakinan, diulang dalam nasihat, diselipkan di pengajian. Tapi hari ini, ketika dunia berputar begitu cepat, aku mulai bertanya: Benarkah semudah itu?
Setiap anak memang membawa berkatnya sendiri. Ada cinta yang pelan-pelan tumbuh di sela hari, ada pelajaran hidup yang nilainya tak bisa dibayar dengan gaji berapa pun. Tapi kalau sudah bicara soal rezeki---soal perut yang harus diisi dan hidup yang harus terus jalan---ceritanya jadi lain, rasanya tidak cukup hanya mengandalkan harapan.
Di dunia yang serba kompetitif ini, dengan harga kebutuhan pokok yang terus naik, lapangan kerja yang makin ketat, dan skill yang makin mahal, apakah hanya dengan menambah jumlah anak, otomatis rezeki bertambah?
Pertanyaan itu membawaku kembali ke sebuah malam lama, ke obrolan ringan yang dipenuhi tawa canggung dan kerutan dahi, yang dulu terasa sepele tapi kini terasa begitu berarti.
 Banyak ustadz dan tokoh agama yang sering mengutip kalimat tersebut, mungkin untuk membangun optimisme. Tapi hidup, aku kira, bukan sekadar tentang keberanian menambah tanggung jawab.
Hidup adalah soal kesiapan.
Keterampilan perlu ditingkatkan.
Kemampuan perlu dilatih.
Wadah rezeki perlu diperbesar.
Kalau kita tetap di titik yang sama --- dengan skill yang itu-itu saja, cara berpikir yang itu-itu saja --- lalu berharap rezeki melimpah hanya karena keluarga membesar, bukankah itu sama saja seperti menunggu keajaiban tanpa persiapan?