Bunyi palu godam menggema di antara dinding-dinding yang lapuk. Debu beterbangan, mengisi udara dengan aroma kayu tua dan batu bata yang retak. Adrian menyeka keringat di dahinya, memandangi struktur bangunan yang sedang ia renovasi. Ia tidak pernah menyangka bahwa proyek ini akan membawanya ke sesuatu yang lebih dari sekadar pekerjaan.
Tangan kasarnya menyentuh sesuatu yang ganjil di balik lapisan cat yang mengelupas. Sebuah celah terbuka, memperlihatkan tumpukan kertas tua yang terselip di antara dinding bata. Jemarinya ragu-ragu saat menariknya keluar. Di sana, berlembar-lembar surat tersusun rapi, huruf-hurufnya nyaris pudar, tetapi tetap terbaca jelas. Surat-surat itu berasal dari tahun 1960-an.
Adrian membaca beberapa kalimat pertama:
"Kekasihku, jika suatu hari surat ini sampai ke tanganmu, ketahuilah bahwa aku masih mencintaimu, meskipun dunia melarang kita bersama..."
Ada sesuatu yang bergetar dalam dadanya. Kata-kata itu bukan sekadar tulisan biasa mereka menyimpan kisah yang terabaikan, mungkin rahasia yang seharusnya tetap terkubur.
Malam itu, Adrian duduk di sebuah kedai kopi di Semarang, menatap surat-surat yang telah ia bawa pulang. Ia merasa perlu mencari seseorang yang bisa membantunya memahami konteks sejarah di balik tulisan ini. Namanya muncul dalam pikirannya: Mei Ling, seorang jurnalis yang pernah menulis tentang sejarah kelam negeri ini.
Ketika mereka bertemu, tatapan Mei Ling berubah tajam saat melihat surat-surat itu.
"Dari mana kau mendapatkannya?" suaranya bergetar, entah karena keterkejutan atau ketakutan.
"Dari sebuah gedung tua yang sedang kugarap," jawab Adrian. "Aku merasa ini bukan sekadar surat biasa. Ada sesuatu yang lebih besar di baliknya."
Mei Ling mengambil satu surat, membacanya dalam diam. Wajahnya pucat. "Aku mengenal nama ini. Lelaki yang menulis surat ini  mungkin dia bagian dari keluargaku."
Adrian menatapnya dengan penuh tanda tanya. "Apa maksudmu?"