Mohon tunggu...
Yoanda Suastanti
Yoanda Suastanti Mohon Tunggu... Buruh - saya

selalu ada jalan untuk orang-orang yang masih menggenggam harapan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Mawar untuk Sakti

22 November 2019   22:08 Diperbarui: 22 November 2019   22:17 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

MAWAR UNTUK SAKTI

Hujan hanya menyisakan basah di jalanan ibu kota, kala hari mulai redup dan lampu-lampu gedung mulai menyala menghiasi  kemegahan metropolitan, seakan menegaskan bahwa akulah keindahan di kota ini. Namun , tidak bagi Mawar dan Yasa. Di jembatan itu mereka mengenang peristiwa yang membuat seluruh tubuhnya bergetar, hatinya bergemuruh tak sabar. Ada guratan kemarahan  pada nada bicara mereka, juga seitik kesedihan.

'' Di jembatan ini aku menyaksikan betapa kejam mereka mengusir kami. Mereka mengeroyok Sakti, kini ia koma. Tak ada berita apapun. Kasihan'' Ucap Yasa menunjuk lokasi di mana Sakti tergeletak bersimpah darah.

'' Dia pahlawa, dia menyelamatkan satu perempuan. Mengorbankan dirinya. Dan aku pecundang. '' Yasa tertunduk lesu.

'' Yah, dia pahlawan. Tapi bukan berarti kau pecundang. Aku yakin, jika kau berada di posisi Sakti saat itu, kau akan melakukan hal yang sama.'' Ucap Mawar

Bau gas air mata seakan masih tercium di udara, perih dan sesaknya masih terasa bagi Mawar. Kemarin di jam yang sama ruang-ruang ibukota tertutup asap tebal yang menyesakkan dada, ada darah dan air mata yang bercampur dengan suara teriakan yang menggema di jalanan antara Tanah Abang, Palmerah, Slipi dan sekitarnya. Mengepung kerajaan tikus-tikus besar, suara-suara kebenaran menggema seantero negeri yang berteriak lantang '' Tuntaskan reformasi''  

Tapi apakah itu sebuah tanda perubahan? Kebenaran tak dapat diraba pasti. Menunggangi atau ditunggangi katanya, nyatanya nurnai mereka telah tumpul. Segalanya mungkin tak sama dengan dua puluh satu tahun yang lalu. Namun, apakah setiap kesadaran harus mengorbankan darah? Apakah setiap bangkitnya gerakan harus dengan luka?

Kenyataan menyeret Mawar pada pandangan bahwa tak ada demokrasi. Demokrasi hanya tipuan jika suara-suara dibungkam. Kita tak mencapai apapun. Kita mengalami kemunduran.

'' Jika aku teriak pada dunia, akankah mereka perduli?''

Pertanyaan yang selalu menari dipikiran Mawar. Memaksanya melihat lebih dalam, betapa ia bukan siapa-siapa. Betapa hidupnya tak pernah ada manfaatnya.

'' Aku yang pelacur ini, apakah mereka akan mendengar? Ku rasa mereka terlalu nyaman hingga tumpul nuraninya, mereka terlalu asik hingga buta matanya, mereka terlalu enggan hingga tuli pendengarannya. Bahwa kita tidak sedang baik-baik saja.'' Mawar mendesah berat, suaranya tertahan oleh kemarahan yang menguasai hatinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun