Mohon tunggu...
wacana_rakyat
wacana_rakyat Mohon Tunggu... Belajar
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Belajar

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sejarah Bukan Sekedar Masa Lalu, Sebuah Dinamika di Rumah Pegangsaan Timur 56

22 Agustus 2022   20:53 Diperbarui: 25 Agustus 2022   12:27 585
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi dari Sejarah Peristiwa Proklamasi Kemerdekaan Indonesia (foto: kompas.com)

Ketika mendengar kata "sejarah" terkadang orang merasa sudah mengerti dan percaya diri dengan mengatakan "sejarah itu ya masa lalu," atau seorang mahasiswa diluar jurusan sejarah mengatakan "sejarah itu gagal move on". 

Dengan kata-kata tersebut berarti masih banyak yang belum paham sejarah sehingga terkesan menyepelekan sejarah. 

Hanya modal pengalaman search di google lalu merasa paling mengerti tentang sejarah. Sejarah tidaklah sesimpel itu, sejarah bukan sekedar peristiwa masa lalu yang kemudian orang seenaknya mengatakan "buat apa belajar sejarah, masa lalu biarlah berlalu,". mantap pisan bahasanya ya wkwk ...

Mungkin tidak masalah kalo sekedar untuk konsumsi pribadi atau untuk bahan mata kuliah tertentu yang menyinggung sekilas tentang sejarah. 

Tapi, bagaimana jika berbicara sejarah didepan publik yang dilihat dan didengar oleh banyak orang. Terlebih terkait sejarah berdirinya sebuah bangsa.

Ketika bangsa Indonesia memperingati kemerdekaannya yang ke 77, orang membaca kembali sejarah bangsa Indonesia. 

Berbagai artikel, narasi sejarah dan video tentang sejarah pun bermunculan diberbagai media. Ya, memang ini menjadi momen untuk menaikan page views konten mereka. 

Tapi bagaimana jika sejarah yang disajikan itu salah, siapa yang bertanggungjawab atas konten sejarah yang sudah terlanjur dikonsumsi publik.

Setiap orang memang memiliki kebebasan untuk berpendapat, tapi ketika bicara sejarah, kita harus memiliki sumber sejarah yang akurat dan ilmiah dan bisa dipertanggungjawabkan.  Atau paling tidak bisa meminta pendapat ahli sejarah.

Banyak orang yang menyepelekan sejarah, mereka menganggap bahwa sejarah sekedar masa lalu yang bisa ditulis oleh siapa saja. Ini menurut saya yang salah, kita harus jeli dan kritis. 

Kita harus hati-hati ketika menulis sejarah, jangan sampai tulisan tentang sejarah yang kita suguhkan kepada publik, kepada masyarakat khususnya bangsa Indonesia itu sejarah yang belum terbukti kebenarannya. 

Sejarah bukan sekedar masa lalu yang kemudian orang sesuka hati berbicara sejarah. Sejarah tidak semudah yang kita bayangkan. 

Jika kita menilai sejarah sesederhana itu lalu buat apa pemerintah membuat jurusan pendidikan sejarah, atau jurusan ilmu sejarah. 

Memang rumit! Dalam sejarah itu ada jurusan sejarah murni (S.S) dan ada juga pendidikan sejarah (S.Pd). Nampaknya, jurusan sejarah saja (sejarah murni) tidak cukup, maka pemerintah sepakat bahwa sejarah untuk diajarkan kepada siswa di sekolah haruslah mereka yang lulusan khusus dari jurusan pendidikan sejarah. 

Ini menandakan bahwa sejarah itu begitu penting dan menyampaikan materi sejarah tidak boleh sembarangan. Sebetulnya pembelajaran tidak boleh diajarkan oleh orang yang tidak mengerti sejarah, atau bukan jurusan sejarah, jika kita benar-benar menghargai sejarah. 

Masih mending kalau benar, bagaimana jika sejarah yang disampaikannya kita itu salah, seperti pernyataan Ustad Adi Hidayat beberapa pekan lalu yang menuai sorotan dari berbagai pihak karena dinilai salah.

Perlu diketahui, Adi Hidayat sendiri merupakan seorang Ustad yang cukup terkenal di Indonesia. Terkenalnya beliau tentu karena orang mengakui kecerdasannya dan kefasehannya dalam menerangkan hukum-hukum Islam kepada masyarakat dan sering ditayangkan diberbagai media sosial seperti YouTube, Tiktok, Instagram dan media sosial lainnya. 

Jujur saya sendiri mengaguminya dan sering mendengarkan cermah-ceramahnya. Saya pribadi juga mengakui kecerdasan dan kefasihnnya dalam berceramah, karena beliau sebagai Ustad. Tapi berbeda halnya jika membahas soal sejarah. 

Pekan lalu menjelang Hari Kemerdekaan Indonesia yang ke-77, Ustad Adi Hidayat sempat ceramah yang kontraversial yang isi ceramahnya membahas tentang sejarah Peristiwa Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. 

Ceramahnya sangat meyakinkan apalagi dibumbui dengan Islam. Hal itu pun menjadi viral di media sosial. Namun banyak yang menilai bahwa ceramah sejarah yang menggebu-gebu itu ngawur. Bahkan tak segan-segan salah satu artikel di media online menyebut Ustad Adi Hidayat (UAH) sebagai seorang pembohong sejarah. 

Artikel itu menyebutkan: "Dari Mulut Ustad Adi Hidayat Kebohongan Sejarah Dikabarkan," ditulis oleh Ade Kurniawan, 18 Agustus 2022 dalam media katalogika.com. 

Adi Hidayat menyebut Rumah Proklamasi Jalan Pegangsaan Timur No 56 adalah Rumah milik keturunan Arab bernama Syech Faradj Martak yang diwakafkan kepada Bung Karno. 

Pernyataan ini sontak menimbulkan reaksi dari berbagai pihak dan menilai bahwa yang dikemukakan oleh Ustad Adi Hidayat merupakan kebohongan sejarah. 

Pasalnya, seorang sejarawan Indonesia Bonnie Triyana pernah membuktikan dalam potongan berita berbahasa Belanda Nieuwe Courant, 7 Juli 1948. 

Potongan berita itu mengutip Surat Kabar Indonesia "Keng Po," yang memuat berita pembelian rumah di Jalan Pegangsaan Timur No 56 oleh Pemerintah Indonesia seharga f250.000. 

Jadi rumah itu bukan milik seorang pengusaha Yaman (Syech Faradj Martak) yang dihibahkan kepada Soekarno seperti yang dikatakan oleh Ustad Adi Hidayat atau UAH, melainkan rumah itu dibeli oleh Pemerintah Indonesia sendiri pada waktu itu. 

Tak hanya itu UAH juga dengan yakin mengatakan, pada saat itu Syech Faradj Martak juga memberikan madu kepada Bung Karno menjelang Proklamasi. Tapi pernyataan ini juga dibantah oleh sejarawan BIN Asvi Warman Adam. 

Menurut Asvi pernyataan UAH tidak cukup bukti. Asvi mengatakan Soekarno memang sakit demam saat menjelang membacakan naskah Proklamasi kemerdekaan. Tapi soal ada yang memberinya madu atau tidak, katanya tidak ada yang tahu. 

"Soekarno demam jelang membacakan teks Proklamasi. Apakah ada orang yang memberinya madu,? Wallahualam," tuturnya seperti dikutip dari detik.com.

Sejarah Bukanlah Mitos atau Dongeng

Selain bukan sekedar masa lalu, sejarah juga bukan sekedar dongeng atau mitos belaka. Sejarah yang menceritakan masa lalu atau peristiwa tertentu tidak bisa kemudian seenaknya mengatakan itu adalah sejarah. 

Selain disebut sebagai peristiwa sejarah juga disebut sebagai ilmu. Maka sejarah itu harus memenuhi kerangka berpikir yang metodologis, sistematis dan ilmiah. Dalam ilmu sejarah ada proses penggodogan agar sesuatu itu sah disebut sebagai sejarah. 

Kuntowijoyo dalam bukunya Pengantar Ilmu Sejarah (2018:7) mengatakan mitos sama-sama menceritakan masa lalu, tapi sejarah berbeda dengan mitos. Mitos menceritakan masa lalu dengan: (1) waktu yang tidak jelas; (2) kejadian yang tidak masuk akal. 

Contoh: Dalam Babad Tanah Jawa disebutkan bahwa Raja-Raja Mataram adalah keturunan para Nabi di satu pihak dan keturunan tokoh wayang dipihak lain. Demikian juga dari Sunda, ada cerita Dayang Sumbi yang bersumpah akan mengawini siapa saja yang sanggup mengantarkan jarum yang terjatuh.

Perempuan itu harus menikah dengan seekor anjing, karena binatang itulah yang sanggup membawakan jarum padanya. Kejadian-kejadian dalam mitos ini tidak masuk akal, sekalipun dipercayai sebagai kejadian yang sungguh-sungguh terjadi di masa lalu. 

Sejarah bukan sekedar masa lalu, tapi sejarah adalah rekonstruksi masa lalu. Jangan membayangkan bahwa membangun kembali masa lalu itu untuk kepentingan masa lalu itu sendiri. Tidak! Itu antikularisme dan bukan sejarah. Lalu bagaimana sesuatu itu dapat dikatakan sejarah,? 

Masih mengutip dari bukunya Kuntowijoyo (2018:46), menurut saya ada 5 hal agar masa lalu itu bisa dikatakan sebagai sejarah. (1) Empiris; (2) mempunyai objek; (3) mempunyai teori; (4) mempunyai generalisasi dan (5) mempunyai metode.  

Pertama, ejarah harus Empiris, kata ini berasal dari bahasa Yunani yaitu empeiria yang artinya pengalaman. Sejarah sangat bergantung pada pengalaman manusia. 

Kedua, sejarah harus mempunyai objek. Kata objek berasal dari bahasa Latin "Objectus" yang berarti yang dihadapan, sasaran, atau tujuan. Jelas, bahwa sejarah itu harus memiliki objek untuk dijadikan pengamatan.

Ketiga, sejarah harus mempunyai teori. Teori berasal dari bahasa Yunani "theoria" yang berarti "renungan". Sama seperti ilmu lain, sejarah juga mempunyai teori pengetahuan. Teori pada umumnya berisi suatu kumpulan tentang kaidah pokok suatu ilmu. 

Keempat, mempunyai generalisasi. Kata ini berasal dari bahasa Latin "generalis" yang berarti "umum". Sama dengan ilmu lain, sejarah juga menarik kesimpulan-kesimpulan umum. 

Terakhir atau kelima, ialah mempunyai metode,  atau cara. Sejarah memiliki metode sendiri yang menggunakan pengamatan. Kalau ternyata suatu pernyataan tidak didukung oleh bukti-bukti sejarah maka pernyataan itu ditolak. 

Contoh, seperti tadi dalam kasusnya Ustad Adi Hidayat di atas. Sebetulnya pernyataan Ustad Adi Hidayat bisa dikatakan benar apabila memenuhi syarat-syarat ini, diantaranya seperti bukti-bukti sejarah yang cukup. 

Ya, menafsirkan sejarah itu tidak semudah yang dibayangkan. Metode sejarah mengaharuskan orang untuk berhati-hati. Dengan metode sejarah orang tidak boleh menarik kesimpulan yang terlalu berani. 

Selain dari kasus Ustad Adi Hidayat, contoh lain umpamanya dengan penelitiannya yang detail, sejarah tidak dapat menyimpulkan bahwa Sang Merah Putih telah berkibar selama 6000 tahun. 

Meskipun demikian, menurut saya pendapat UAH juga tidak sepenuhnya salah. Terlalu kasar jika kita mengatakan pendapat UAH ini sebagai pembuat kebohongan sejarah.  Toh ketika UAH menyebut nama Syech Faradj Martak, itu memang ada tertulis dalam Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI). 

Faradj Martak adalah seorang pengusaha. Dan pada tanggal 28 April 1938 ia pernah mengajukan permohonan pengurangan harga tanah di Residentie Soerabaja (Surabaya). 

Artinya, pendapat UAH ini tidak sepenuhnya salah. Hanya saja memang menurut saya pendapatnya kurang begitu kuat seperti apa yang dikatakan oleh sejarawan Asvi Warman Adam.  Tapi pendapat UAH ini menurut saya patut kita hargai karena bisa menjadi bahan juga untuk dilakukan penelitian lebih lanjut.  

Begitulah asyiknya berdinamika. Perdebatan kesejarahan memang selalu memunculkan perdebatan intelektual. Saran dari saya semoga dengan adanya dinamika kesejarahan ini bisa menemukan penemuan-penemuan baru untuk menyumbangkan ide dan gagasan dibidang kesejarahan. 

Kesimpulannya dari saya bahwa dinamika sejarah bukan untuk membuktikan siapa yang salah tapi siapa yang bisa membuktikan kebenaran sejarah dengan bukti-bukti yang ia miliki. 

Kita juga bisa menyimpulkan bahwa sejarah tidak semudah yang kita bayangkan dan sejarah bukan sekedar masa lalu, sejarah juga bukanlah mitos atau dongeng. Sejarah tentunya bisa menghidupkan dinamika intelektual bangsa.  

Sekian, semoga artikel ini bermanfaat  ...

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun