Mohon tunggu...
Fitria Yusrifa
Fitria Yusrifa Mohon Tunggu... -

Seseorang yang haus akan rasa sepi. Menyepi, menyendiri, lalu meratapi. Ya, hanya itu yang ia sukai selama ini

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Dari Kaki Bukit Menuju Merbabu

30 Agustus 2014   08:57 Diperbarui: 18 Juni 2015   02:07 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sinar mentari menerpa wajahmu.

Ya, matamu terpejam beberapa saat lamanya.

Lalu, tanganku menyentuh tombol kamera,

Merekam setiap hembus nafasmu,

Dan aku mulai tersadar,

Aku terpikat oleh pesonamu

Dia berdiri di hadapanku dengan menggendong backpack beserta peralatan mendaki. Tubuhnya tinggi, lebih tinggi dariku tepatnya. Wajahnya kelihatan sejuk, adem. Namun, tak berhasil membuat nyaliku bangun untuk menanyakan darimana ia berasal.

Ia menatap mataku. Sayangnya, kami masih terdiam satu sama lain. Ada jeda dalam dimensi waktu yang terbentang luas di hadapan kami berdua.

Aku tak akan melupakan bagaimana sederhananya pertemuan pertama kami.

Dia berjalan di belakangku. Langkahku dipandu oleh cahaya yang berasal dari lampu senternya. Entah, saat itu, aku merasa, hanya ada kami berdua dalam rombongan pendakian Merbabu. Jarak kami berdua dengan anggota yang lain cukup jauh, sehingga membuatnya berulangkali mengingatkanku untuk berjalan pelan-pelan. Tak jarang, rombongan meminta waktu untuk break dan mau tak mau, kami berdua ikut berhenti.

Perbincangan pertama kami dimulai.

Kami duduk di atas batu. Jarak kami hanya sekian senti jauhnya. Pemandangan karesidenan Surakarta dengan cahaya lampu yang berpendar terang, terbentang di hadapan kami. Hingga akhirnya, kami saling bercerita tentang hal-hal sederhana: mulai dari tempat tinggal hingga rutinitas sehari-hari.

Ada banyak hal yang membuatku kagum padanya, tak terkecuali cahaya di matanya.

Aku tahu, kali ini akan banyak cerita yang mengitari perjalananku. Dan sumber ceritaku adalah Kamu. Kamu yang tak mungkin kugapai walau hanya beberapa detik lamanya. Terlebih, aku telah berkomitmen untuk setia pada seseorang yang saat ini sibuk di hadapan layar netbooknya. Seorang yang sudah sekian lama memandu gerak langkahku. Menemaniku dalam setiap nada-nada kesepian. Namun, salahkah apabila kini aku melompat sedemikian jauh dari rengkuhannya? Apakah aku salah dengan menyangkal takdirku sendiri? Tentang pertemuanku denganmu, Mr.Slai Olai, yang kini mengganggu tidur-tidur malamku?

Salahkah bila cinta ini akhirnya hadir walau hanya dari pihakku? Dan menodai kesucian cinta yang terjalin sebelum kamu datang di hadapanku?

Tak ada yang salah, karena sejatinya, manusia tak bisa mengingkari rahasia Tuhan lewat takdir yang telah disuratkan.

Lima jam lamanya rombongan kami menjelajahi perbukitan di area Merapi-Merbabu. Tampaknya, kami tersesat dan menyalahi jalur yang telah ditentukan. Mr.Slai Olai masih berjalan di belakangku. Namun, kali ini, kami tak banyak bicara. Kami hanya konsen soal jalan menuju pos tiga. Keadaan sekitar juga sangat tidak mendukung. Beruntung, malam itu, langit menampakkan kecantikannya yang luar biasa di atas kepala kami.

Dan salah satu cahaya bintang turun tepat di bola matanya.

Kami akhirnya memutuskan untuk mencari tanah yang cukup datar untuk memasang tenda. Jam menunjukkan pukul tiga dini hari. Mata kami sudah tak mampu bertahan dalam kondisi seperti ini.

Tuhan masih mengizinkan kami untuk memejamkan mata sekian jam lamanya. Ditemani jutaan galaksi di atas langit dan butir-butir lampu karesidenan Surakarta, kami akhirnya melewati malam pertama kami di perbukitan Merbabu.

Berulangkali kudengar namaku dipanggil oleh kawan-kawanku. Segera kulepas sleeping bag yang membungkus tubuhku. Mataku terbuka. Tuhan tampaknya maha mengerti akan mauku. Ia mengirimkan cahaya matahari terbit berwarna kuning keemasan. Aku tak mampu berucap sepatah kata pun.

Mataku menelusuri keberadaan Mr.Slei Olei.

Ia tertidur begitu nyenyak di depan tenda dengan balutan sleeping bagnya. Beberapa temanku tampak sibuk menyiapkan sarapan. Sedangkan yang lain sibuk mencari penghangat tubuh. Mereka tampak menggigil kedinginan, tak terkecuali Mr.Slei Olei. Namun, ia masih nyenyak dalam tidurnya, meski berulangkali terbangun untuk membenarkan posisi tidur.

Aku kembali masuk ke tenda. Mencari kacamataku yang hilang. Kugeledah semua peralatan tidur teman-temanku, namun tetap tak kutemukan kacamata kesayanganku itu. Tiba-tiba, tanganku bergerak ke dalam sleeping bag yang kugunakan semalam. Ah, aku menemukannya! Tapi, aku terdiam beberapa saat lamanya. Framenya patah. Aku melenguh. Mengapa untuk perjalanan ini aku tak dapat menyaksikannya dengan bantuan kacamata? Hmm. Mungkin, Tuhan punya rencana lain di dalamnya. Ya, aku lebih baik menyimpan frame yang patah ini, agar rasa sedihku tak mendominasi perjalananku kali ini.

-bersambung-

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun