Di era digital sekarang, hampir semua perangkat bisa terhubung ke internet. Fenomena ini dikenal sebagai Internet of Things atau IoT. Dari kulkas pintar yang kasih notifikasi makanan habis, lampu otomatis yang nyala saat kita masuk kamar, sampai smartwatch yang memantau kesehatan harian, IoT bikin hidup lebih praktis dan efisien. Semua perangkat bisa saling bertukar data dan dikontrol lewat satu pusat, biasanya smartphone, sehingga manusia bisa menghemat waktu dan tenaga.
Selain IoT, ada juga tren yang lebih canggih yaitu Autonomous Things atau AuT. Berbeda dengan IoT yang hanya terhubung dan dikontrol, AuT bisa bertindak dan belajar sendiri tanpa intervensi manusia. Contohnya mobil otonom, drone pengantar paket, atau robot layanan pelanggan. Mereka bisa membuat keputusan sendiri untuk menyelesaikan tugas dan menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan, sehingga efisiensi meningkat dan pekerjaan rutin bisa otomatis.
Tapi di balik semua kemudahan itu, kedua teknologi ini juga punya tantangan. Semakin banyak perangkat IoT yang terhubung, semakin besar risiko keamanan data dan privasi. Sementara AuT menimbulkan pertanyaan etika: bagaimana memastikan keputusan robot atau AI tetap adil, aman, dan tidak merugikan manusia. Selain itu, terlalu bergantung pada teknologi otomatis bisa menurunkan kemampuan kritis dan empati manusia.
Peran Gen Z di sini sangat penting. Kita tumbuh di dunia digital dan sudah terbiasa sama teknologi, tapi juga punya kesadaran sosial dan nilai kemanusiaan. Dengan kombinasi melek teknologi dan empati, Gen Z bisa mengarahkan perkembangan IoT dan AuT agar tetap berpihak pada manusia, bukan cuma menjadi penikmat teknologi, tapi juga pengontrol dan pencipta yang bertanggung jawab.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI