Kita hidup di zaman ketika hampir setiap percakapan publik berujung pada perpecahan. Dari warung kopi hingga ruang sidang parlemen, orang bisa bertengkar hanya karena pilihan politik, agama, atau bahkan tim sepak bola. Di Indonesia, setiap lima tahun sekali, kita menyaksikan teman, kerabat, bahkan keluarga bisa renggang hanya karena berbeda pilihan politik.Â
Sungguh ironis: orang baik bisa berubah menjadi musuh hanya karena pilihan di bilik suara.
    Sekilas kita mudah menyimpulkan: semua ini soal uang, serangan fajar, atau politik transaksional. Tetapi, benarkah sesederhana itu? Mengapa manusia bisa sedemikian fanatik, bahkan rela menghina, menyakiti, atau memutus hubungan hanya demi membela kelompoknya?
    Di sinilah Jonathan Haidt, seorang psikolog sosial dari Amerika Serikat, memberikan jawaban radikal dalam bukunya "The Righteous Mind: Why Good People Are Divided by Politics and Religion". Buku ini tidak hanya menjelaskan perpecahan, tetapi juga memberikan kerangka berpikir baru yang membantu kita memahami mengapa orang baik bisa berpikir dan bertindak begitu berbeda.
    Haidt menawarkan sebuah metafora yang sederhana namun mengguncang. Bayangkan lidah manusia: ia bisa merasakan manis, asin, asam, pahit, dan umami. Setiap orang memiliki kepekaan berbeda terhadap rasa-rasa ini. Demikian juga moralitas. Menurut penelitian Haidt, ada enam "indra moral" utama: care (kasih sayang), fairness (keadilan), liberty (kebebasan), loyalty (loyalitas), authority (otoritas), dan sanctity (kesucian).
    Orang liberal biasanya sangat peka terhadap tiga rasa: kasih sayang, keadilan, dan kebebasan. Sementara itu, kaum konservatif cenderung memiliki spektrum moral yang lebih luas: selain tiga rasa tadi, mereka juga memberi bobot besar pada kesetiaan, otoritas, dan kesucian.
    Inilah mengapa debat antara kelompok liberal dan konservatif sering buntu. Mereka tidak berbicara dalam bahasa moral yang sama. Seorang liberal bisa berteriak "ini tidak adil!", sementara seorang konservatif membalas, "tapi ini merusak kesucian tradisi kita." Bagi keduanya, argumen itu sahih, tetapi lawannya nyaris tuli terhadap "rasa moral" yang dibicarakan.
    Fenomena ini mudah kita lihat dalam kehidupan sehari-hari. Pernahkah kita menonton SEA Games atau Piala Dunia? Saat tim nasional bermain, jiwa nasionalisme kita membara. Kita berharap tim kita menang, apa pun caranya. Diam-diam, kita bahkan mungkin berharap lawan cedera agar peluang kita lebih besar. Rasionalitas hilang, digantikan oleh loyalitas pada bendera.
    Apakah ini berarti kita bodoh? Tidak. Inilah cara otak manusia bekerja. Kita adalah makhluk moral sekaligus tribal. Kita butuh kelompok, dan ketika kelompok itu terancam, kita melompat membela tanpa banyak pikir panjang. Loyalitas dan otoritas berperan di sini, dua rasa moral yang sering diremehkan oleh orang-orang yang mengaku rasional.
    Sebelum membaca Haidt, saya cenderung melihat orang lain dalam hitam putih: cerdas atau bodoh, waras atau naif. Saya menganggap pandangan berbeda sebagai kelemahan logika. Namun, buku ini memaksa saya bercermin. Ternyata saya hanya peka pada sebagian "rasa moral". Saya mengira rasa manis lebih mulia daripada rasa asin, padahal keduanya sama-sama bagian dari pengalaman manusia.
    Haidt mengajarkan bahwa memahami orang lain tidak berarti kita harus setuju dengan mereka. Empati sejati adalah berusaha tahu bagaimana orang lain bisa berpikir demikian, bukan sekadar apa yang mereka pikirkan. Dengan cara ini, perbedaan pandangan politik, agama, atau ideologi tidak lagi tampak sebagai kebodohan lawan, melainkan sebagai refleksi dari spektrum moral yang berbeda.