Mohon tunggu...
Stephen G. Walangare
Stephen G. Walangare Mohon Tunggu... -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kunang-kunang kebenaran di langit malam.

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Alkitab dan Alat Kontrasepsi

1 Maret 2018   08:39 Diperbarui: 2 Juli 2018   17:59 480
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Keenam, keberadaan alat kontrasepsi telah memicu beragam dosa seksual. Kehamilan akibat seks bebas dan penyebaran penyakit kelamin dapat dicegah melalui alat kontrasepsi tertentu, sehingga membuka ruang yang lebih lebar untuk kehancuran seksual masyarakat modern. Penggunaan alat kontrasepsi juga berpotensi memberikan dukungan bahwa seks bisa dinikmati tanpa prokreasi, sehingga dapat mengarah pada segala bentuk pemuasan seksual seperti masturbasi (onani) dan homoseksualitas.

Apakah semua argumen di atas sudah memadai untuk menolak segala bentuk pencegahan kehamilan? Penyelidikan yang lebih teliti dan mendalam tampaknya mengarah pada kesimpulan yang sedikit berbeda.

Sehubungan dengan argumen #1 tentang pelanggaran terhadap alam, kita perlu mengkaji ulang apa yang dimaksud dengan “alamiah”. Saya setuju bahwa organ kelamin dan reproduksi manusia memang berkaitan erat. Organ-organ itu diciptakan secara berbeda antara laki-laki dan perempuan untuk memungkinkan terjadinya kehamilan.

Walaupun demikian, pengertian “alamiah” tidak sesederhana itu. Saya sendiri sejak dahulu memilih untuk mendefinisikan “alamiah” dalam arti “sesuai dengan tujuan penciptaan.” Jika pengertian ini yang dianut, kita perlu mendekati Kejadian 1-2 sekali lagi untuk mendapatkan gambaran yang lebih besar dan tepat. Dalam konteks penciptaan, seks maupun prokreasi bukanlah tujuan. Keduanya sama-sama instrumen untuk merealisasikan rencana Allah, yaitu menguasai bumi bagi kemuliaan-Nya (Kejadian 1:26 “supaya manusia berkuasa….”). Seks memungkin terjadinya prokreasi.

Prokreasi memungkinkan pertambahan dan persebaran umat manusia ke seluruh bumi, sehingga mereka pada akhirnya dapat menguasai bumi (Kejadian 1:28). Penguasaan bumi bagi kemuliaan Allah merupakan tujuan tertinggi bagi umat manusia dalam kisah penciptaan.

Poin di atas membawa kita pada pemikiran selanjutnya. Jika penguasaan bumi merupakan tujuan, segala sesuatu yang menghambat hal itu perlu untuk ditentang dan segala sesuatu yang bermanfaat bagi tujuan itu perlu untuk didukung. Nah, bagaimana dengan perkembangbiakkan manusia? Apakah pada dirinya sendiri hal ini selalu baik? Apakah jumlah keturunan yang banyak pada dirinya sendiri selalu lebih baik? Tentu saja tidak. Jika suami-istri Kristen memiliki kapasitas untuk membesarkan anak-anak dengan baik, pasangan itu seyogianya memiliki banyak keturunan. Anak-anak mereka akan memiliki dampak yang besar bagi dunia. Namun, apabila suami-isteri tidak mampu membesarkan anak-anak dengan baik dalam jumlah yang banyak, mereka sebaiknya menggunakan akal budi Kristiani mereka agar mengetahui kehendak Allah sehubungan dengan jumlah anak yang perlu mereka miliki dan asuh (Roma 12:2).


Apabila seks harus dikaitkan dengan prokreasi, seperti pandangan mereka yang menolak alat kontrasepsi, maka hubungan seksual yang dilakukan oleh pasangan suami-isteri yang mandul atau lanjut usia juga termasuk dosa. Bukankah hubungan seks dalam kasus-kasus semacam ini juga hanya ditujukan untuk kepuasan seksual tanpa berujung pada kehamilan? Tentu saja saya yakin bahwa para penentang alat kontrasepsi tidak akan berani menilai kasus-kasus ini sebagai dosa. Dengan demikian mereka tampaknya perlu memikirkan ulang argumen mereka.

Sehubungan dengan argumen #2 tentang anak-anak sebagai berkat, kita sebaiknya melihat itu secara lebih cermat. Tidak semua kelahiran adalah sesuatu yang positif. Tentang orang yang akan menyerahkan Dia ke penyaliban, misalnya, Tuhan Yesus sendiri pernah berkata: “Adalah lebih baik bagi orang itu sekiranya ia tidak dilahirkan” (Matius 26:24b//Markus 14:21b). Jadi, yang lebih penting bukan hanya kelahiran, melainkan bagaimana kualitas kehidupan orang itu.

Implikasi poin ini bagi diskusi kita cukup jelas. Adalah lebih baik untuk memiliki jumlah anak yang sedikit tetapi mereka berdampak positif daripada jumlah yang banyak tetapi hidup mereka tidak berkualitas. Tentu saja yang paling baik adalah anak dalam jumlah banyak dan kualitas kehidupan yang baik. Persoalannya, tidak semua orang memiliki kapasitas ke arah sana.

Argumen #3 tentang kematian Onan sebenarnya tidak terlalu relevan bagi diskusi kita sekarang. Alkitab secara eksplisit menyoroti keengganan Onan untuk memberikan keturunan bagi kakaknya yang sudah meninggal. Keengganan itu menunjukkan pelanggarannya terhadap Hukum Levirat yang sudah ditetapkan oleh Tuhan sendiri (Ulangan 25:5-10). Dalam hukum ini ditetapkan bahwa jika seorang suami meninggal dunia tanpa memiliki keturunan, maka saudara laki-lakinya harus melakukan perkawinan ipar. Anak yang dilahirkan nanti akan diperhitungkan sebagai anak almarhum. Jadi, ia dihukum oleh Tuhan bukan karena membuang spermanya di luar vagina Tamar. Tuhan lebih melihat motivasi yang buruk di balik tindakan itu. Onan tidak mau meninggalkan nama dan kehormatan bagi almarhum kakaknya.

Beberapa orang yang menentang alat kontrasepsi berusaha menolak penafsiran di atas. Mereka beralasan bahwa ketidaktaatan terhadap Hukum Levirat tidak membawa konsekuensi hukuman mati. Orang yang menolak hanya akan mendapat nama buruk dalam masyarakat (Ulangan 25:10).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun