Mohon tunggu...
Stephen G. Walangare
Stephen G. Walangare Mohon Tunggu... -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kunang-kunang kebenaran di langit malam.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Feminisme dan Konsumerisme

18 Februari 2018   18:05 Diperbarui: 18 Agustus 2018   22:17 862
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sejak beberapa dekade yang lalu dunia diwarnai secara kental oleh semangat feminisme dan konsumerisme. Dalam feminisme, perbedaan antara laki-laki dan perempuan coba dikaburkan sedemikian rupa sehingga hanya kesejajaran mereka yang ditampilkan. Ketundukan istri kepada suami dipandang sebagai warisan budaya patriakhal yang sudah tidak relevan. Dalam konsumerisme, para perempuan mencoba mengikuti patokan duniawi tentang kenyamanan hidup. Tatkala hal ini terjadi, penampilan lahiriah seringkali lebih diutamakan daripada yang lain. Teks kita hari ini (1Pet. 3:1-7) memberi landasan yang kuat bagaimana menghadapi dua bahaya di atas. Petrus menerangkan bahwa istri yang saleh menunjukkan dua karakteristik: ketundukan kepada suami dan kecantikan dari dalam. Dua hal ini sangat penting bagi istri maupun suaminya.

Bukti kesalehan #1: ketundukan (ayat 1-2)

Dalam bagian ini Petrus tampaknya memikirkan sebuah situasi khusus, yaitu para istri yang bersuamikan orang yang non-Kristen. Mereka disebut sebagai orang-orang yang “tidak taat kepada Firman” (ayat 1). Istilah “firman” (logos) di sini merujuk pada berita Injil (lihat 2:8; 4:17). Pemilihan kata ini (“logos,” bukan “eu angelion” seperti biasanya) dimaksudkan sebagai sebuah permainan kata: “supaya jika ada di antara mereka yang tidak taat kepada Firman (logos), mereka juga tanpa perkataan (logos) dimenangkan oleh kelakuan istrinya”.  Menjadi istri yang baik bagi orang yang tidak beriman jelas memberi tantangan tersendiri. Perbedaan keyakinan berarti perbedaan cara pandang, keputusan, dan tindakan. Jika situasi kultural pada waktu itu diperhitungkan, tantangan ini tampak semakin besar. Menurut ukuran kultural Yunani-Romawi pada waktu itu, perbedaan keyakinan antara suami dan istri bisa dibilang sebagai sesuatu yang tidak ideal. Para istri diharapkan mengikuti agama suami (misalnya dalam tulisan Plutarch). Bagaimana para istri Kristen seharusnya menyelaraskan ketaatan mereka kepada suami dan Allah? Ini jelas tidak mudah untuk dilakukan.

Di tengah situasi rumit seperti di atas, Petrus menasihati istri-istri Kristen untuk tunduk kepada suami mereka (3:1a). Tunduk bukan karena tuntutan kultural. Petrus tahu bahwa sangatlah mustahil bagi para istri untuk menjungkirbalikkan norma-norma kultural yang berlaku pada waktu itu. Bukan pula karena ketakutan (3:5-6). Petrus tahu bahwa ada Allah sebagai pokok pengharapan. Bukan juga untuk mendapatkan sesuatu yang menyenangkan. Petrus tidak menyoroti keuntungan atau manfaat yang akan diperoleh oleh para istri yang tunduk.

Alasan ketundukan berkaitan dengan suami. Ketundukan istri kepada suami merupakan sarana ilahi untuk memenangkan suami bagi Kristus (3:1b). Hal ini dilakukan “tanpa perkataan” (aneu logou). Pertobatan mereka terjadi lebih karena melihat (3:2a “epopteusantes”) daripada mendengar. Dengan kata lain, Petrus sedang menekankan penginjilan melalui tindakan. Dia secara konsisten memang menegaskan nilai penting “kelakuan” (anastrophe, 1:15; 2:12; 3:2, 16). Secara khusus dia sudah mengajarkan kesalehan sebagai sarana penjangkauan untuk orang-orang yang belum percaya (2:12).

Walaupun demikian, frasa “tanpa perkataan” jelas bukan berarti tanpa pemberitaan Injil. Pemberitaan verbal tetap tidak boleh dilupakan. Di 3:15 semua orang Kristen dinasihati untuk memberikan pembelaan verbal sekaligus menunjukkan kesalehan. Hanya saja, dalam konteks relasi suami – istri pada waktu itu, sarana yang lebih efektif memang bukan perkataan, melainkan kelakuan. Pemberitaan Injil seringkali menjadi tidak berbuah jika si pemberita gagal menghidupi Injil tersebut.

Kata “kelakuan” (anastrophe) muncul lagi di 3:2. Frasa “murni dan salehnya hidup istri mereka itu” secara hurufiah dapat diterjemahkan: “kelakuan kalian yang murni dalam ketakutan” (ten en phobo hagnen anastrophen hymon). Penempatan “dalam ketakutan” di bagian awal menyiratkan penekanan. Baik “murni” (hagnen) maupun “dalam takut” (en phobo) saling berkaitan. Untuk memahami ini, kita perlu mengetahui bahwa ketakutan di sini bukan ditujukan pada suami (lihat 3:6). Ketakutan ini ditujukan pada Allah. Ketundukan kepada suami bersumber dari ketundukan kepada Allah. Jika tafsiran ini diterima, kita bisa melihat keterkaitannya dengan “murni”. Ketundukan istri bukan cuma di luar untuk pencitraan. Bukan sekadar menjaga reputasi istri atau suami. Bukan sekadar menyenangkan pasangan. Bukan untuk menghindari pertengkaran belaka, apalagi memamerkan kebaikan istri. Ketundukan ini dilakukan secara tulus karena Allah yang menjadi alasannya.

Bukti kesalehan #2: kecantikan dari dalam (ayat 3-4)

Sesudah menyinggung tentang ketundukan (3:1-2), Petrus sekarang beralih pada kesederhanaan penampilan dan kecantikan dari dalam (3:3-4). Nasihat ini sendiri sebenarnya tidaklah asing bagi orang-orang Romawi. Banyak penulis terkenal pada waktu itu yang sudah mengajarkan nilai penting penampilan yang sederhana (Plutarch, Seneca, Juvenal, Epictetus, Pliny, Tacitus).

Apakah Petrus secara mutlak melarang segala jenis dandanan, pakaian mahal, dan perhiasan? Apakah ayat 3 harus diterima secara hurufiah? Pembacaan yang teliti mengarah pada jawaban negatif. Kita tidak mungkin mengambil teks ini secara hurufiah, karena pada larangan terakhir sebenarnya tidak ada tambahan “yang indah-indah” (KJV/ESV). Mereka hanya dilarang mengenakan pakaian. Apakah kita akan menangkap ini secara hurufiah dan menerapkannya secara mutlak? Tentu saja tidak, bukan? Itulah sebabnya, penerjemah NASB memilih: “perhiasanmu tidak boleh hanya secara eksternal saja”.

Penjelasan di atas bukan berarti bahwa penampilan yang berlebihan diperbolehkan. Petrus tetap mengajarkan kesederhanaan (3:3). Namun, yang disorot terutama adalah kecantikan dari dalam (inner beauty, 3:4). Orang yang memiliki kecantikan dari dalam pasti menganggap kecantikan dari luar tidak seberapa penting. Mereka tidak akan berfokus pada hal tersebut. Kecantikan dari dalam ini diungkapkan melalui frasa: “manusia batiniah yang tersembunyi”. Kita tidak boleh menafsirkan frasa ini seolah-olah yang dipentingkan hanya aspek batiniah. Sebelumnya Petrus sudah dua kali menekankan pentingnya kelakuan yang bisa dilihat (3:1-2). Sebaliknya, frasa ini berarti “seluruh kehidupan seseorang jika ditentukan dari dalam”. Yang dipikirkan oleh Petrus bukan kerohanian yang aneh, tidak mendarat, atau sekadar di dunia roh. Apa yang ada dalam hati pasti akan keluar melalui kelakuan. Hati yang baik menghasilkan kelakuan yang baik pula. Hati yang diwarnai oleh kelembutan (praus) dan ketenangan (hesychios, LAI:TB “ketentraman”) memampukan para istri untuk tunduk kepada suaminya (bdk. 1Tim 2:11, lit. “Biarlah seorang perempuan belajar dalam ketenangan dengan segala ketundukan”).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun