Mohon tunggu...
Stephen Sihombing
Stephen Sihombing Mohon Tunggu... Mengabdi bagi kemanusian dengan keteladanan Yesus

Meneladani jalan sunyi Yesus. Melayani tanpa sorot lampu, hadir tanpa ingin dikenal. Dalam keseharian, kasih menjadi sikap hidup, dan pengampunan sebagai bahasa yang paling manusiawi. Keteladanan bukan perkara besar, melainkan kesetiaan pada hal-hal kecil yang dilakukan dengan hati yang tak pernah letih mencintai.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kalkulator di Ruang Darurat

11 April 2025   00:11 Diperbarui: 15 April 2025   02:52 151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Foto dokumen pribadi

Dunia bergerak cepat. Pemerintah Indonesia, seperti biasa, tertinggal beberapa langkah. Sibuk menghitung, santai bertindak.Amerika Serikat lewat Presiden Donald Trump akan resmi memberlakukan tarif timbal balik sebesar 32% terhadap berbagai produk ekspor Indonesia mulai 9 April ini. Kita kini diposisikan sejajar dengan Tiongkok sebagai "ancaman" bagi ekonomi AS. Produk andalan seperti tekstil, karet, elektronik, hingga udang. Semuanya terancam kehilangan pasar utama.
Sementara Vietnam langsung membentuk gugus tugas, Malaysia membuka kanal negosiasi, dan Thailand, yang bahkan baru saja dilanda gempa, sudah menyusun peta jalan dagang, Indonesia masih menghitung. Pemerintah berkata, "sedang mengkaji dampak." Terjemahannya: para pejabat ekonomi kita masih sibuk dengan kalkulator, bukan strategi.

Yang membuat publik geleng-geleng kepala bukan sekadar lambannya reaksi, tapi betapa normalnya kelambanan itu dianggap. Seolah-olah menghadapi krisis global cukup dengan rapat, menyusun skenario, lalu menunggu saat yang tepat untuk bertindak. Padahal, dalam geopolitik ekonomi, waktu bukan sekadar angka. Ia adalah sinyal. Diam bisa berarti bingung. Terlambat bisa berarti kalah.

Yang ironis, kabinet ekonomi kita tak kekurangan nama besar. Ada Sri Mulyani yang berkali-kali menjabat menteri keuangan lintas rezim. Ada Airlangga Hartarto yang sepuluh tahun menjadi motor penggerak ekonomi nasional. Tapi pengalaman panjang ternyata tak menjamin kecepatan. Ketika negara lain berlari, kita masih memoles kertas kerja.

Pemerintah berdalih mungkin tengah menyiapkan sesuatu. Tapi publik tak hidup dari "mungkin." Dunia usaha tak bisa menunggu hingga Lebaran usai hanya untuk mendengar arah kebijakan. Jika pemerintah memang ingin bernegosiasi dengan AS, katakan. Jika ingin beralih ke BRICS, tunjukkan. Jika ingin memberi insentif ke industri, lakukan. Jangan biarkan ketidakpastian menjadi kebijakan itu sendiri.

Kita terlalu sering menjadikan birokrasi sebagai tempat berlindung dari keputusan sulit. Padahal rakyat tak butuh pidato optimisme. Mereka butuh kepastian langkah. Para pelaku usaha butuh aba-aba. Pasar butuh sinyal, bukan spekulasi.

Tarif dari AS adalah pukulan keras, tapi bukan yang pertama. Yang lebih berbahaya adalah ketidakmampuan kita menanggapi dengan cepat dan terbuka. Ini bukan lagi soal data dan rumus. Ini soal nyali. Keberanian untuk mengambil posisi, dan kesadaran bahwa dalam krisis, kecepatan adalah bentuk kepemimpinan.

Pemerintah tak bisa terus menyembunyikan keraguan di balik kalkulasi. Jika memang siap bertindak, bertindaklah. Jika belum, setidaknya berbicaralah. Karena negara bukan hanya soal hitung-hitungan. Ia juga soal keberanian tampil di tengah badai, dan berkata: kami tahu apa yang kami lakukan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun