Mohon tunggu...
Stefi Rengkuan
Stefi Rengkuan Mohon Tunggu... Wiraswasta - Misteri kehidupan itu karena kekayaannya yang beragam tak berkesudahan

Lahir di Tataaran, desa di dekat Danau Tondano, Minahasa. Pernah jadi guru bantu di SD, lalu lanjut studi di STFSP, lalu bekerja di "Belakang Tanah" PP Aru, lalu di Palu, dan terakhir di Jakarta dan Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Asal Usul Arkais Istilah Tonaas Wangko, Gelar Adat dan Nilai Luhur Minahasa

22 Maret 2023   20:04 Diperbarui: 23 Maret 2023   22:37 2449
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pengukuhan Pengurus Kerukunan Keluarga Kawanua secara Adat Minahasa di TMII pada 11 Maret 2011. Sumber Panitia Pengukuhan.

Tiada maksud lain, selain memberi wacana alternatif di tengah narasi lama yang tak pernah diketahui lagi atau makin kabur dan gelap arti dan konteksnya di kalangan masyarakat Minahasa sendiri bahkan termasuk oleh mereka yang didaulat atau mendaulat diri tokoh bahasa dan budaya Minahasa sendiri. 

Lagipula dari sisi bahasa, sampai saat ini belum ada tesis kontra yang bisa membantah tesis Boseke ini secara lebih meyakinkan (Max F. Wilar). Maka uraian berikut ini kiranya bisa membuka mata kritis kita tentang apa yang sudah dan sedang akan terjadi dengan Minahasa itu sendiri, terlebih hal identitas terkait nilai-nilai yang hakiki, universal dan eternal.

Dengan pendekatan monosilabel melalui metode pinyin, didapatlah asal usul kata Tonaas Wangko itu, yakni berasal dari frase lengkap Tou Na Shu Wang Guo U Fan Hua, dalam bahasa Minahasa kontemporer menjadi Tonaas Wangko Umbanua. Perhatikan bunyi dan teks piyinnya masih mirip sama, bukan? Dan dalam bahasa Han berarti 'pemimpin penguasa negara kekaisaran Shu sebagai rumah tempat kembali di Tiongkok'.

Nah lho kok begitu artinya, asing dan seperti dari dunia alien? Karena itu hanya memberikan pengertian ini saja tidak sulit dibantah sebagai sebuah upaya cocokologi belaka bahkan oleh mereka yang paham tentang bahasa format monosilabel ini. Karena lapisan bahasa adalah satu hal yang perlu dipahami untuk menemukan kebenaran dari tesis Boseke ini, dan masih perlu paham pelbagai lapisan lainnya, seperti sejarah (misalnya kerajaan di Tiongkok terkait tokoh,  peran, alur dan konteks kesekitaran; dan tentu saja tentang Minahasa itu sendiri), budaya, arkeologi, ilmu bumi, dst. (Soetiadji Yudho Ratulangi dalam Seminar di Hotel Oval Surabaya yang diselenggarakan Kawanua Surabaya, 2021)

Setelah paham hal lapisan-lapisan itu, kita lanjut menilai klaim pengertian dalam bahasa Han kuno itu. Dan ternyata mempunyai makna dan konteksnya dalam sejarah perang terbesar di Tiongkok pada abad ke-3 Masehi, yang dikenal sebagai 'perang tiga negara' atau San Guo atau Sam Kok.

Nah, ungkapan Tonaas Wangko Umbanua di Minahasa itu ternyata berasal usul kisah tentang penyerahan wilayah provinsi kerajaan kepada sang tokoh utama, yakni Kaisar Liu Bei. Sejak menjadi penguasa di Shi Chuan secara damai, Liu Bei disebut Tou Na Shu Wang Guo U Han Hua itu. Kisah di balik itu adalah ketika Zhang Lu dari Han Zhong hendak merampas Shi Chuan, raja bangsawan Liu Zhang sependapat dengan penasihatnya untuk menyerahkan wilayahnya diserahkan kepada Liu Bei yang dianggap lebih berkarakter bijaksana dan mulia sebagai pemimpin daripada kepada Chao Chao yang tamak dan tidak jujur.

Teks Tona'as Wangko dalam grafis Han kuno (Welliam Boseke, PDHLM, Pohon Cahaya, 2018)
Teks Tona'as Wangko dalam grafis Han kuno (Welliam Boseke, PDHLM, Pohon Cahaya, 2018)
Arti kata ungkapan Tonaas Wangko itu beserta makna dan konteks inilah yang sulit dibantah sebagai cocokologi yang naif dan tak berdasar apapun. Misalnya tentang Liu Bei yang berjulukan Jiu Gui ru er, seolah olah sembilan lutut, atau Shou Gui ru er yang berarti memiliki lengan melampaui lutut (Minahasa: Siow Kurur) adalah ayah dari Liu Shan (A Dao), ayah Tou erl yang tak lain adalah Toar sendiri dalam mitologi manusia pertama Minahasa. 

Temuan Boseke menjelaskan bahwa Toar, Lumimuut, dan Karema itu ternyata makhluk historis, bukan dongeng belaka. Mengherankan juga bahwa nama-nama fam atau marga di Minahasa itu tidak bersifat genetik (diwariskan), dan tak lain adalah berkisah tentang siapakah Kaisar Liu Bei, kakek dari Toar itu sendiri. Nama marga ini baru kemudian menjadi diwariskan sejak pemerintahan administrasi pada zaman kolonial. 

Sudah ada 700 nama fam Minahasa yang arti dan konteksnya yang diungkap Boseke, bagaikan rangkaian pujian kepada sang Kaisar yang sangat dihormati itu, khususnya oleh para keluarga dan pengikutnya tentunya, yang kapal2 mereka terdampar oleh angin muson barat di 'wilayah tempat tiba tak sengaja' (tu uxin dao na = tu'ur in tana).

Jadi sangat jelas dan terang bahwa Weliam Boseke tidak sekedar mencari-cari persamaan bunyi dan teks serta arti kata ungkapannya, namun dia justru bisa membuat perbandingan dalam konteks sejarah yang riil, yang bisa diverifikasi sendiri oleh mereka yang terbuka mau menelusuri dan mempelajarinya dalam kenyataan sejarah umum. 

Boseke tidak sedang membuat pembandingan dengan klaim sepihak saja, seperti naif dan konyol dituduhkan segelintir orang yang tak mau tahu lagi apa sebenarnya inti temuan Boseke ini. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun