Mohon tunggu...
Stefi Rengkuan
Stefi Rengkuan Mohon Tunggu... Wiraswasta - Misteri kehidupan itu karena kekayaannya yang beragam tak berkesudahan

Lahir di Tataaran, desa di dekat Danau Tondano, Minahasa. Pernah jadi guru bantu di SD, lalu lanjut studi di STFSP, lalu bekerja di "Belakang Tanah" PP Aru, lalu di Palu, dan terakhir di Jakarta dan Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

BJ Habibie dan Penulis Buku Nuklir: Membelah Nuklir, Membela Humanitas

13 September 2019   21:23 Diperbarui: 17 September 2019   12:33 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Secara filosofis pun argumentasi tentang "sekadar alat" itu sudah lama dipatah-patahi oleh sederet teori penting. Dari teori Max Weber yang memastikan bahwa setiap penggunaan rasio untuk sains serta teknologi sudah dengan sendirinya memuatkan niat dan tindak memperlakukan semua pihak dan segala sesuatu tak lebih dari semata-mata obyek pemenuh kebutuhan kita saja.

Teori yang kelak oleh Foucault kian diradikalkan tak terbantahkan, sampai filsuf-teknologi Jacques Ellul yang memastikan teknologisasi selamanya equvalen dengan penguasaan politis, sentralisme, totaliterisme. 

Bahaya-bahaya kultural teknologi atas kemanusiaan, yang akibatnya lebih parah dibanding ledakan bom nuklir ataupun bocornya pusat reaktor nuklir, pun dikonstatasi dengan cermat oleh Ivan Illich, Herbert Marcuse, Friedrich Dessauer, dan seterusnya, dan setiapnya serba mengerikan!  

Lalu, sementara teknologi bahkan teknologi yang setingginya tetap kita butuh, apakah sama sekali tiada harapan untuk meniadakan eksesnya? 

Ada!

Pertama, mari kita tilik ke akar-akar persoalannya. Erich Fromm dalam teorinya tentang akar-akar kekerasan --- yang secara tak kebetulan banyak menganalisis kekejaman Jerman dan Jepang di sekitar Perang Dunia II --- sama sekali tak melihat korelasi teknologi dan agresi buas manusia. 

Malah yang terlihat adalah justru ajaran agama beserta sistem moralnya. Tapi memang Fromm juga mencatat kesejajaran perkembangan antara kemajuan peradaban dan kecenderungan destruktif manusia.

Sampai di situ kita mungkin manggut-manggut membenarkan, sembari menghitung perbandingan antara, di satu pihak, jumlah korban bom berteknologi tinggi di Hiroshima dan Nagasaki yang sudah termasuk mereka yang mati dalam setahun kemudian akibat pelbagai sindrom dari pemboman itu, termasuk yang terpapar radio-aktif, seluruhnya tak sampai 3 ratus ribu jiwa, sedangkan di pihak lain, hampir 7 juta jiwa yang dibantai rezim fasisme di Eropa dan Asia dengan hanya menggunakan teknik manual dan primitif...!

Kedua, sungguhkah di akar sains dan teknologi tinggi status nilai etisnya memang netral dan nanti manusia jahatlah yang kemudian memuatkan nafsu jahatnya? 

Jawaban bukan saja ketegasan "Ya!", melainkan lebih daripada itu: dalam dasar terdalam setiap substansi maupun esensi, dasar material maupun struktur teoretikal, bahkan terdapat cinta-kasih. Kenyataan alamiah ini sudah diakui bahkan oleh sejumlah saintis sekuler bin agnostik.    

Ketiga, tinggal soal sikap beserta keputusan kita sebagai manusia pengguna scien-tech. Sejak sikap para pribadi ilmuwan di laboratorium sampai konsensus politik serta sistem hukum dalam masyarakat nasional dan internasional. Dan untuk itu, Habermas menyediakan tuntunan yang, sebagaimana khasnya, sedemikian memaklumi serta mempertimbangkan realitas. Dimulai dengan meletakkan sains dan teknologi di dalam hirarkhi pohon ilmu pengetahuan yang sebenarnya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun