Karena poros fasisme, yang dibentuk oleh rezim diktator Hitler dan Musolini sejak 1936 dan sebulan berikutnya langsung bersatu-padu dengan kekuatan militerisme Jepang dari sayap Timur, sudah bersiap-siap untuk segera memulai serbuan besar-besaran dengan mengerahkan teknologi mesin perang mutakhir yang diproduksi melalui industri kolosal.Â
Jerman bahkan sudah menginvasi Polandia, Italia sudah menyerbu Abyssinia, dan Jepang sudah menduduki China dimana banyak terdapat kepentingan Amerika yang sudah lama dikembangkan.
Pada hari-hari itulah, awal Agustus 1939, Presiden Amerika Serikat Roosevelt tiba-tiba menerima sepucuk surat dari Albert Einstein. Sang fisikawan memberi tahu, bom berdaya penghancur dahsyat bisa dibikin dengan cara membelah nuklir atau inti atom.Â
Energi dari reaksi nuklir yang dipicu oleh pembelahan inti atom akan berlipat-ganda dalam hitungan pangkat yang pula dapat diperbesar sebesar-besarnya.Â
Dan, dengan mengusulkan pengggunaan atom dari bahan uranium yang banyak ditambang di Ceko, surat yang ditulis Leo Szilard ini pun sekaligus mensugestikan ancaman (provokasi!) tentang kemungkinan Jerman akan lebih dulu mengangkangi uranium di Ceko itu.Â
Tak ayal lagi sang Presiden langsung menginstruksikan dijajakinya proyek yang dihitungnya dapat menambah secara signifikan kekuatan militer Amerika. Hasilnya, kota-kota Hiroshima dan Nagasaki, basis-basis industri militer Jepang, hancur-luluh cuma dalam tempo sekejap, dan Kaisar Hirohito segera mengumumkan: menyerah tanpa syarat.Â
Tapi Einstein sendiri amat trenyuh hati oleh kengerian itu, ia tak menyangka sampai sejauh itu kehancuran manusia dan kemanusiaan yang diakibatkan oleh aplikasi teknologi dari teorinya. Ia lantas, bersama Bertrand Russell, giat dalam kampanye perdamaian dunia.
Ya, teknologi nuklir, bahkan teknologi pada umumnya, segera menjadi persoalan etika, dengan kadar intensitas yang belum pernah dalam masa kapanpun sebelumnya.
Dan kali ini, di era nuklir kita sekarang ini, jelas sudah ternilai sebagai simplikasi yang tak bertanggung-jawab jika masih ada suara yang hanya mengajukan argument bahwa "bagaimanapun teknologi tetap hanyalah alat yang sebagaimana alat lainnya, pisau, telepon, teknik pembuatan api, dan lain-lainnya, sifatnya netral, manusialah yang menentukan nilai etis penggunaannya, bisa untuk kejahatan atau sebaliknya amal kebaikan".Â
Diskursus problematika moral teknologi yang, seturut tradisi filsafat Barat lazim dinisbatkan dengan mitologi Prometheus yang mencuri ide teknik pembuatan api dari Dunia Ide Murni Illahi.
Pun sudah lama disingkirkan oleh para peneliti sejarah peradaban dunia yang menyimpulkan betapa penemuan teknologi api oleh leluhur kita merupakan sebuah revolusi sangat besar yang membawa lompatan luarbiasa dalam peningkatan kesejahteraan hidup dan penghidupan umat manusia.