Mohon tunggu...
Denis Stanislaus
Denis Stanislaus Mohon Tunggu... -

Call me old-fashioned.

Selanjutnya

Tutup

Money

Potret Muram Sistem Ketahanan Air Jakarta

8 September 2011   08:59 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:08 243
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="" align="alignleft" width="259" caption="Sampah Sungai atau Sungai Sampah?"][/caption] Jebolnya pintu air milik PT PDAM di sungai Kalimalang, Jaktim sejak lebih 1 minggu yang lalu menyebabkan kerugian dan masalah, khususnya dalam menunjang aktivitas keseharian warga Jakarta. Parahnya, PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja) selaku operator air di Jakarta kehilangan suplai pasokan air hingga sebesar 65%, dan sekitar 60% pelanggannya tidak mendapatkan pelayanan air bersih. (www.metrotvnews.com, Sabtu, 3/9/11). Angka-angka tersebut bisa kita kritisi. Pertama, jumlah pelanggan air ibukota yang sanggup dilayani PDAM Jakarta sekarang hanya sebesar 806.153 atau 62% wilayah cakupan (Maurits Napitupulu, PAM JAYA, Juni 2011). Dengan adanya kasus jebolnya pintu air Kalimalang itu, maka jumlah pelanggan yang masih bisa 'menikmati' layanan air bersih tinggal sekitar 320 ribuan pelanggan. Gubernur DKI atau operator penyedia air bersih bisa aja berkilah dengan mengatakan bahwa ini adalah 'bencana'. Akan tetapi, kalau kita mau kritis ternyata 13 tahun swastanisasi air bersih masih jauh dari yang diharapkan. Ketika 'bencana' ini terjadi, PDAM masih kelabakan dalam menyediakan cadangan air, sementara di satu sisi tarif air terus naik sejak swasta yang mengambil alih. Untuk ilustrasi bisa baca berita di detik.com: http://www.detiknews.com/read/2010/02/03/164941/1292196/159/tarif-termahal-se-asean-kualitas-air-murahan Di situ dikatakan bahwa tarif air 'bersih' kita termahal se-ASEAAN, tapi kualitasnya murahan (tidak bisa langsung minum). Apa sih sebenarnya permasalahan mendasar dari ketiadaan sistem ketahanan air Jakarta ini? Cukup kompleks permasalahannya. Pertama, dari sisi lingkungan. Ada 13 sungai di Jakarta, yang bisa digunakan PDAM sebagai sumber pengolahan air bersih (bukan air siap minum) hanya 5 sungai, yakni Ciliwung, Krukut, Pesanggrahan, Saluran Sekunder Bekasi Tengah, serta Banjir Kanal. Sisa yang lainnya sudah tercemar berat. "Sungai di Jakarta merupakan tempat pembuangan akhir (TPA) terpanjang di dunia. Tinja manusia juga ikut menyumbang sebagai polutan terbesar di sungai-sungai Jakarta," (Prof. Enri Damanhuri, Februari 2011). Kedua, dari sisi birokrasi, ada tumpang tindih (overlapping) otoritas atas penguasaan sumber-sumber air tsb. Sungai Ciliwung misalnya, ada di bawah kendali Dinas Pekerjaan Umum (pusat), sementara pada saat yang bersamaan merupakan sumber bahan baku PDAM. Ketika sewaktu-waktu terjadi masalah, maka bisa dipastikan proses penanganannya tidak sebentar dan berbelit-belit (lempar sana/i). Ketiga, yang paling membuat saya kesal, pihak otoritas yang selalu berkilah (tidak mengambil tanggung jawab) dalam menyikapi masalah ini, sehingga memberi contoh yang buruk kepada masyarakat yang kemudian secara sadar/tidak sadar ikut-ikutan cuek atau mau menang sendiri juga. Saya ambil contoh komentar Gubernur DKI saat ini Fauzi Bowo dalam menghadapi krisis air bersih saat ini. Anda bisa tengok beberapa beritanya via Google. Dalam beberapa kesempatan dia seenaknya mengatakan, "Kalau saya sampai tahu (berapa jumlah truk tangki air yang dikirimi ke rumahnya agar ada air di rumahnya saat krisis), saya kuli namanya bukan gubernur." Sementara kita tahu, pada saat yang bersamaan banyak warga Jakarta tidak ada air di rumahnya, dan dirugikan oleh masalah ini. Pada lain kesempatan, dia juga menolak mentah-mentah wacana penghapusan biaya abonemen pelanggan PDAM dengan alasan "dalam perjanjian awal dengan pelanggan ada kesepakatan bahwa pelanggan tidak boleh komplain ketika suplai air tidak terpenuhi". Ini seperti berjanji dengan setan saja, bahkan pun setan memberikan layanan manis meski ujung-ujungnya pahit, PDAM bersama kedua operatornya, PT PALYJA dan PT AETRA, selama ini belum pernah memberikan yang benar-benar manis kepada para pelanggannya. Meski demikian, sifat 'kerja samanya' sama, merugikan konsumen. Sudah wajar jika kita langsung menunjuk jari telunjuk kita kepada Pemprov DKI dan operator air bersih, tapi masalah ini juga membutuhkan peran aktif warganya. Revitalisasi sungai menjadi kata wajib, meski prosesnya akan lama dan sulit, tapi bisa lebih murah untuk jangka panjangnya ketimbang kita bersandar pada sistem ultrafiltrasi atau bahkan penyulingan air laut yang sangat mahal itu untuk jangka panjang. Kecuali keadaan sudah sangat parah, pilihan penyulingan air laut adalah opsi terburuk yang harus diambil ketika semua air di daratan Jakarta sudah begitu buruk dan semua warganya tidak peduli dan mau menang sendiri.

Mohon tunggu...

Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun