Mohon tunggu...
Kebijakan Pilihan

Ngabalin, Pilpres 2019 dan Defisit Politiknya

22 Juli 2018   20:18 Diperbarui: 22 Juli 2018   22:40 1093
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penulis : Adlan Daie (Wakil Sekretaris PWNU Jawa Barat)

Ali Mochtar Ngabalin, politisi Partai Golkar dengan peci khas "muslim"nya akhir-akhir ini sering kita saksikan di sejumlah media nasional dengan komentar-komentar pedasnya terhadap para politisi dan pihak lain yang dianggap tidak bersahabat dg rezim pemerintahan Jokowi. Posisinya sebagai juru bicara Kepresidenan saat ini meskipun secara de jure adalah Tenaga Ahli Utama Kedeputian IV Kantor Staf Presiden, tentu  tidak dapat dilepaskan dari konstruksi dinamika politik dalam kontestasi Pilpres 2019.

Dengan kata lain, masuknya Ngabalin sebagai juru bicara Kepresidenan yang fasih penguasaan diksi-diksi keagamaannya, sekali lagi dengan branded peci "muslim" nya, bukan sekedar dalam konteks  akomodasi politik Jokowi terhadap pragmatisme Partai Golkar, partai tempat bernaungnya Ngabalin, yang telah mendukung dan sekaligus mengusung kembali Jokowi sebagai Capres 2019, lebih dari itu, dalam kerangka penguatan mesin elektoral Jokowi untuk menarik basis pemilih "muslim kota" yang dipersepsikan bagian dari komunitas ngabalin yang selama ini sangat resisten dan memiliki daya tolak tinggi terhadap Jokowi.

Memang, hingga saat in belum terdapat data riset dan survey yang mengaitkan trend elektabilitas Jokowi dengan "Ngabalin effect" sebagai juru bicara kepresidenan. Tapi data survey terbaru LSI Deny JA pasca Pilkada serentak 2018, yakni setelah beberapa bulan Ngabalin bertugas sebagai juru bicara Kepresidenan, dapat dirujuk sebagai gambaran awal untuk pendalaman riset prilaku pemilih dan kemungkinan migtasi pilihan politik beserta varian-varian persepsi publik turunannya.

Data survey LSI Deny JA tersebut, mengungkapkan fakta elektoral bahwa pemilih Jokowi pasca pilkada serentak 2018 sebesar 46% dengan varian pemilih loyal sebesar 32%, yakni tingkat kemungkinan perubahan dan migrasi  politiknya sebesar 14%. Di sisi lain, data survey yang sama menemukan hal penting lainnya yakni tingkat kesukaan terhadap tagar "2019 Ganti Presiden"  meningkat, dari sebelumnya sebesar 50%, pasca Pilkada serentak 2018 naik menjadi 54%, dengan kontribusi terbesar tingkat kesukaannya dari basis pemilih Jawa Barat sebesar 58%.

Data survey lain dari lembaga survey Indikator Politik dan Charta Politika menemukan fakta elektoral bahwa selain pemilih PDIP yang mayoritas mutlak akan memilih Jokowi karena asosiasi politik keduanya telah terbentuk secara resiprokal dan bersifat timbal balik secara elektoral, hanya pemilih PKB yang adaptif di atas 56% untuk memilih Jokowi sebagai Capres 2019, jauh di atas pemilih partai pengusung Jokowi lainnya seperti Partai Golkar,  PPP,  Nasdem dan Hanura yang rata-rata maksimal sebesar 30% dari pemilih partainya. 

Komparasi elektoral Jokowi yang 46% pasca Pilkada serentak 2018 (dengan kemungkinan migrasi pilihan sebesar 14%), defisit sebesar 20% dari elektoral partai-partai pengusungnya yang sebesar 65% secara akumulatif. 

Data-data survey di atas dapat kita maknai bahwa Ngabalin sebagai juru bicara Kepresidenan dalam arti baik narasi maupun body language-nya yang nyaris setiap hari disorot media nasional  dan serta merta dipersepsi public mewakili pandangan, langgam dan kepentingan politik Jokowi, belum menunjukkan insentif elektoral dari basis pemilih "Islam kota" yang dipersepsikan bagian dari komunitasnya, bahkan dari anasir-anasir konstituen Partai Golkar di mana ia bernaung di dalamnya, tidak terbaca trend kenaikan effect elektoralnya terhadap elektabilitas Jokowi. 

Langgam narasinya yang pesas dan menyerang selain tidak akseptabel dengan sosio politik masyrakat Indonesia, justru kontraproduktif secara elektoral yang dapat dibaca dari trend naiknya tingkat kesukaan tagar #2019 Ganti Presiden", dari sebelumnya sebesar 50%, pasca Pilkada serentak 2018, naik menjadi sebesar 54%, saat mana Ngabalin aktif sbg juru bicara Kepresidenan.

Di sinilah pentingnya mereposisi Ngabalin sebagai juru bicara Kepresidenan dikembalikan ke posisi formalnya sebagai Tenaga Ahli Utama Deputi IV  Kantor Staf Presiden untuk selanjutnya menimbang sosok juru bicara yang bukan saja fasih dalam penguasaan materi dan diksi keagamaan, lebih dari itu, juga merepresantasikan basis pemilih muslim yang lebih luas dan jaringan organik (Jam'iyah) yang terstruktur hingga ke akar rumput dengan langgam narasi publik yang connected dengan karakter politik Jokowi yang santun dan "tidak menyerang".

Presiden Jokowi bersama Ketua Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama, Maman Imanulhaq
Presiden Jokowi bersama Ketua Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama, Maman Imanulhaq
Dalam konteks ini, K.H. Maman Imanulhaq, Pengasuh Pesantren Al-mizan, Jatiwangi, Majalengka, Jawa Barat yang juga menjabat Ketua Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU) yang sdh sangat familiar dengan media-media nasional, salah satu sosok yang layak ditimbang sebagai juru bicara Kepresidenan dalam kerangka penguatan insentif elektoral Jokowi di basis-basis pemilih muslim sekaligus sebagai "political soft"  dalam ikhtiar menangkal "politik aliran" yang coba didesain ulang momentum penguatannya dalam kontestasi Pilpres 2019.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun