Mohon tunggu...
Sri Rumani
Sri Rumani Mohon Tunggu... Pustakawan - Pustakawan

Rakyat kecil, bukan siapa-siapa dan tidak memiliki apa-apa kecuali Alloh SWT yang sedang berjalan dalam "kesenyapan" untuk mendapatkan pengakuan "profesinya". Sayang ketika mendekati tujuan dihadang dan diusir secara terorganisir, terstruktur, dan konstitusional... Email:srirumani@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Beauty Pilihan

Pakaian Bekas Menumpuk untuk Apa?

1 Desember 2020   21:54 Diperbarui: 1 Desember 2020   21:59 194
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi: viva.co.id

Salah satu kebutuhan pokok setiap orang adalah sandang, berupa pakaian untuk menutup bagian badan yang termasuk aurat (bagian badan yang tidak boleh kelihatan). Menurut Iman Syafi'i aurat pria antara pusar dan lutut. Sedang aurat wanita menurut Imam Nawawi, aurat wanita ketika sholat adalah seluruh badannya selain wajah dan kedua telapan tangan sampai ke pergelangan. Ini yang disebut aurat menurut syariat Islam. Untuk agama lain bukan ranah saya memberi arti aurat.

Fungsi pakaian melindungi tubuh dari sengatan panas dan udara dingin. Dalam perkembangannya, pakaian bukan sekedar menutup dan melindungi badan, tetapi mencerminkan status sosial pemakainya. Artinya pakaian sebagai aktualisasi diri seseorang dari strata sosial rendah, menengah, atau atas. Pakaian juga menunjukkan kepribadian, asal usul daerah, situasi/kondisi, suasana hati, keyakinan seseorang. Pakaian yang melekat pada seseorang dapat memberi kesan pertama.  

Pakaian yang dikenakan dengan tepat dapat menimbulkan rasa percaya diri, memunculkan aura positif, kegagahan, keanggunan, tampan, kecantikan. Sebaliknya pakaian asal nempel di badan karena mengikuti mode, trend, tanpa memperhatikan bentuk tubuh, warna kulit justru menjadi bahan tertawan oleh lingkungan sosialnya. Salah kostum (saltum) saat menghadiri suatu acarapun dapat menjadi pusat perhatian, yang ujungnya menurunkan rasa percaya diri.

Pakaian yang nyaman dipakai tergantung dari bahan, potongan, warna, padu padan. Hal ini menjadi peluang usaha bagi para designer untuk menciptakan karya sesuai dengan jaman, jenis kelamin, usia, warna kulit dari para custumer. Dari sinilah muncul pengusaha fashion dengan designer kreatif dan inovatif  yang telah mempunyai pangsa pasar sendiri. Namun di tengah pandemi Covid-19 ini bisnis fashion mengalami penurunan omset. Tidak kehilangan akal, produksi pakaian dikurangi, ganti memproduksi masker dari bahan kain.  

Terlepas dari semua itu pakaian yang dimiliki setiap orang pasti selalu bertambah dan menumpuk di almari. Bahkan ada pakaian yang belum pernah dipakai masih rapi, bagus, terselip di tumpukan. Apakah perlu melakukan penyusutan pakaian yang tertumpuk tidak pernah dipakai?

Melihat almari penuh berisi pakaian yang jarang/tidak pernah dipakai karena kekecilan, potongan tidak sesuai jamannya, warna tidak disukai. Padahal pakaian itu masih bagus dan kelihatan baru, sehingga harus segera dikeluarkan dari almari.

Namun untuk membuat keputusan mengeluarkan pakaian dari almari ternyata tidak semudah membalik tangan. Apalagi pakaian itu mempunyai cerita dan nilai sejarah secara pribadi. Akibatnya hanya dipindah-pindah dan pakaian tetap menumpuk semakin banyak. Kalaupun sudah mempunyai niat untuk mengurangi isi almari dengan memilih, dan memilah, baju itu mau dikemanakan.  

Pakaian yang pernah dipakai dikatakan bekas walaupun masih bagus. Saat ini pakaian bekas sedang trend di dunia feysen. Di kalangan anak muda membeli pakaian bekas kembali booming, karena lebih hemat dibanding membeli baru. Apalagi pakaian bermerek produk luar negeri yang harganya selangit. Memakai baju bermerek pun dapat menaikkan harga diri, "mungkin" rasa bangga, keren, dan mendapat pengakuan oleh lingkungan sosialnya.

Kembali ke soal pakaian yang sudah pernah dipakai menumpuk di almari, sebagai sinyal segera mengerem  membeli pakaian.  Atau harus menerapkan model "beli satu, keluar satu". Artinya saat membeli satu pakaian harus merelakan pakaian yang lain dikeluarkan dari almari. Di luar sana masih banyak orang-orang yang membutuhkan. Lebih baik diberikan mereka yang membutuhkan bila dari  lingkungan keluarga dekat, tetangga sudah tidak ada kekurangan pakaian.

Pernah punya pengalaman dan kenangan membeli pakaian bekas (mantel) sewaktu pelatihan di Negara Kincir Angin tahu 1991. Diantar dosen yang membersamai selama pelatihan. Saat itu musim semi, pakaian mantel itu dapat menghangatkan tubuh yang sering menggigil. Maklum orang udik baru pertama kali pelatihan selama 1 (bulan) langsung jauh banget. 

Jujur di Indonesia tidak pernah membeli pakaian bekas, yang sering disebut "awul-awul". Walau harganya jauh lebih murah, selalu berusaha membeli yang baru. Namun juga bukan tipe orang yang suka membeli pakaian "branded", yang harganya merogoh kantong terlalu dalam. Pakaian mahal itu kalau dipakai, bayangan kita tetap hitam bukan?   

Yogyakarta, 1 Desember 2020 Pukul 21.33

Mohon tunggu...

Lihat Konten Beauty Selengkapnya
Lihat Beauty Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun