Mohon tunggu...
Sri Rumani
Sri Rumani Mohon Tunggu... Pustakawan - Pustakawan

Rakyat kecil, bukan siapa-siapa dan tidak memiliki apa-apa kecuali Alloh SWT yang sedang berjalan dalam "kesenyapan" untuk mendapatkan pengakuan "profesinya". Sayang ketika mendekati tujuan dihadang dan diusir secara terorganisir, terstruktur, dan konstitusional... Email:srirumani@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Anak Perempuan Berkarir di Dunia Hiburan Tanpa Pendampingan Ayah

28 Oktober 2020   23:32 Diperbarui: 2 November 2020   09:39 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Semua itu dijalani dengan penuh ketidak berdayaan, tidak ada pilihan lain. Harus hidup di kota mencari uang dengan menyanyi dari panggung ke panggung. Dari hajatan satu kehajatan lain, dari acara satu ke acara lain. Perjalanan hidup ini dianggapnya sebagai proses yang mau tidak mau, suka tidak suka harus dilewati. Walau suara serak bahkan hilang suaranya, harus tetap datang sekedar menghibur penonton yang senang melihat wajah cantiknya. Berat memang, tetapi harus dijalani dengan semangat tinggi mengingat dirinya sebagai tulang punggung keluarga. Beban semakin berat, karena menjalani profesi penyanyi dangdut sambil melanjutkan kuliah smester satu.

Sungguh miris, disaat teman sebaya sudah nyaman tidur, anak perempuan cantik berusia 18 tahun ini masih teriak-teriak menyanyi, menempuh perjalanan malam menuju tempat hajadan/syukuran. Di tengah pandemi Covid-19 yang berbarengan dengan Pilkada serentak, seharusnya masa panen raya. Kenyataannya sebagai masa paceklik yang sangat memberatkan karena tidak ada job, tetapi kebutuhan terus berjalan.

Menjadi penyanyi dangdut hidup di kota sendirian tanpa didampingi seorang ayah saat menerima job bukan tanpa alasan. Ayahnya sedang sakit sejak 12 tahun silam, walau berbagai usaha pengobatan telah dilakukan. Kakak laki-laki yang lulus sarjana pun tidak bisa menemani adik perempuan saat menyanyi, karena di kampung bekerja sebagai tenaga honorer kantor Kepala Desa.   

Hidup di kota, gadis kampung dengan predikat "Duta Propinsi" dari suatu ajang kompetisi bergengsi menjadi "aset daerah" yang diperhitungkan. Namun Pemda tidak memberi apresiasi langsung untuk memperbaiki ekonomi keluarganya. Oleh pejabat Pemda hanya dititipkan di keluarga salah satu anggota komunitas. Anehnya tidak pernah mendapat penjelasan kenapa dititipkan dan tidak boleh kos. Banyak aturan yang intinya mengekang kebebasan bergerak, bertindak, berpendapat. Dilarang pergi sendiri walau untuk urusan pribadinya, harus diantar jemput dengan mobil. Apakah ini bentuk apresiasi dari Pemda memperlakukan "Duta Propinsi", sehingga harus mengikuti aturan protokuler untuk menjaga "image" seorang artis ?. Tidak pernah ada penjelasan secara rinci, jelas, tuntas dan transparan.

Penampilannya ala artis ibukota dengan kostum, acesories, make up dan kendaraan mengikuti standar hidup "high class". Padahal gadis multi talenta menyanyi, memainkan gitar dan piano ini dari keluarga kurang mampu. Dipaksa menjalani pola hidup sesuai tuntutan lingkungan sosial, sehingga semakin berat beban yang harus ditanggung. Tidak pernah ada yang menyangka dari penampilan yang glamour itu ternyata harus "menahan" rasa pedih dan perih karena keluarga di kampung perlu bantuan, tetapi tidak berdaya karena tidak ada uang.  

Lagi-lagi karena tanpa pendampingan ayah atau saudara laki-laki, sehingga anak perempuan itu tidak kuasa menghadapi lingkungannya. Mengikuti saja apa maunya mereka memperlakukan seperti "boneka mainan". Tempat penitipan itupun pindah-pindah dari keluarga satu ke keluarga lain. 

Selama 6,5 bulan pindah 4 (empat) kali. Sangat melelahkan hati, emosi dan perasaan karena selama tinggal tidak memegang uang sepeserpun, padahal keluarga di kampung mengharapkan kiriman uang untuk kebutuhan sehari-hari. Bagaimana dapat mengirim uang kalau job menyanyi kosong karena pandemi Covid-19. Kalaupun menyanyi sekedar mengisi acara anggota komunitas, yang berarti tidak mendapat bayaran.  

Nasib anak perempuan di kota sendirian tanpa pendampingan ayah dalam meniti karier, menjadi peluang emas orang dewasa berkeluarga untuk membentuk, memoles, sesuai kemauannya. Atas nama sebagai tim manajemen berjumlah 6 (enam) orang bekerja untuk mendapatkan bagian uang saat penyanyi ada job. Artinya bayaran dari penyanyi yang menjadi haknya harus dibagi bersama dengan semua anggota tim manajemen.

Tugasnya mendampingi, mengurus, mengantar, menjemput, menerima order menyanyi, menentukan harga, menerima, dan membagi bayaran. Padahal bila diantar dan didampingi ayahnya sekaligus sebagai manajer, hanya perlu 1 (satu) orang pemain keyboard, dan 1 (satu) orang kostum/rias, sehingga honor tidak dibagi-bagi untuk orang banyak.

Manajemen gendut (banyak orang) dalam tim manajemen jujur mengurangi honor penyanyi perempuan. Honor paling tinggi setelah mendapat predikat "Duta Propinsi", sebesar Rp 2.000.000,00. Itupun harus latihan berjam-jam selama beberapa malam sebelum hari "H". Untuk menuju ke tempat acara harus menempuh perjalanan jarak jauh dua hari dua malam. 

Belum untuk sewa/membeli kostum, asecories, dan make up. Artinya dalam hal ini siapa sebenarnya yang diuntungkan, apakah artis daerah atau tim manajemen. Teryata anak perempuan polos menjadi "obyek", komuditas yang menggiurkan bagi tim manajemen. Apalagi modal wajah cantik alami, suara merdu, namanya dikenal masyarakat, yang  "marketable" sebenarnya pantas mendapat hak lebih banyak.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun