Pandemi Covid-19 yang sudah berlangsung sejak 2 Maret 2020 belum ada tanda kapan berakhir, karena mobilitas orang antar kota, daerah, wilayah masih terus berlangsung. Walaupun sudah ada aturan dan larangan, namun pelanggaran masih marak terjadi dengan cara dan alasan untuk pembelaan diri.
"Stay at home" (bekerja, belajar, beribadah), PSBB, larangan mudik, sering menimbulkan ambigu sehingga multi tafsir. Akibatnya terjadi perdebatan pelik, panjang, melelahkan, menguras energi, pikiran, dan waktu.
Melawan pandemi Covid-19 perlu jiwa besar, gotong royong, setia kawan, menanggalkan (sementara) bendera politik, saling memberi semangat, kompak bersatu padu dan mengedepankan musyarawarah mufakat.
Masa pandemi Covid-19 ini, musuh bersama tidak nampak wujudnya dengan mata telanjang, tetapi mematikan. Tujuan aturan dan larangan itu dibuat demi memutus penularan Covid-19 yang masif.
Kesadaran dan disiplin diri untuk mentaati peraturan seharusnya menjadi kunci untuk menekan orang terpapar. Sayang masih ada warga masyarakat yang cuek, masa bodoh, seakan tidak ada pandemi yang mematikan.
Di sisi lain warga masyarakat yang mentaati sesuai protokol kesehatan mulai mengalami kejenuhan, bosan, rindu melakukan aktivitas di luar rumah. Harapannya kondisi darurat segera berakhir, sehingga kehidupan bersosial, bermasyarakat kembali normal.
Jadi sebenarnya garda terdepan penanggulangan penyebaran Covid-19 adalah anggota masyarakat itu sendiri. Diakui untuk masyarakat marginal perlu sosialisasi dan edukasi pandemi Covid-19 dengan segala resiko dan dampaknya dengan bahasa daerah yang dipahami.
Data terakhir per 11 Mei 2020 pukul 16.16 koran yang terpapar berjumlah 14.265 orang, 10.393 dirawat, 991 meninggal, dan 2.881 sembuh (www.covid19.go.id). Â Â Â Â
Tenaga kesehatan (dokter, perawat, ahli gizi, laboran, apoteker), semua pegawai Rumah Sakit sebagai benteng pertahanan terakhir apabila ada yang terpapar Covid-19. Khususnya tenaga kesehatan yang rela, ikhlas, mewakafkan tenaga, pikiran, jiwa, raga, berpisah dengan keluarga untuk orang yang terinfeksi.
Saat tugas harus memakai APD (Alat Perlindungan Diri) yang sangat tidak nyaman, panas, semua itu atas nama rasa kemanusiaan dan sumpah profesi.
Bahkan tenaga kesehatan mempunyai resiko paling besar terpapar Covid-19. Ketika para tenaga medis terpapar dan gugur, jenazahnya ditolak warga untuk dimakamkan di tempat asalnya.