Di Alun-alun Yogyakarta, saat ini sedang berlangsung PMPS, sebagai rangkaian acara peringatan Hari Lahir Nabi Muhammad SAW. Walapun waktunya hanya 18 hari namun animo masyarakat untuk menyewa lahan meningkat dari 486 (2017) menjadi 514 kaveling (2018). Artinya PMPS ini juga menjadi ajang untuk promosi produk industri yang dibuat oleh pelaku usaha agar dikenal masyarakat.Â
Selain itu acara ini juga sebagai pentas budaya dari group kesenian yang ada di Yogyakarta dan sekitarnya seperti karawitan, sanggar seni, dan ketoprak. Arena hiburan yang murah meriah kehadirannya selalu dinantikan oleh masyarakat. Bagi wisatawan nusantara dan asinga, PMPS sebagai tempat tujuan wisata yang budaya dan rerigi. Â
Menyimak istilah Sekaten berasal dari bahasa Arab Syahadatain atau dua kalimat syahadat. Ada pendapat lain sekaten dari kata "sekati", yaitu seperangkat "gangsa" (gamelan), berasal dari Majapahit, yang dibunyikan selama pelaksanaan Sekaten. Jadi Sekaten ini pada awalnya sebagai media dakwah para wali songo diantaranya Sunan Kalijaga, Sunan Giri untuk menyebarkan agama Islam di tanah Jawa melalui kebudayaan.Â
Ada prosesi "miyos" (bhs. Jawa) artinya keluar gamelan keraton bernama Kyai Guntur Madu dan Kyai Nagawilaga, dari bangsal Sri Manganti, ke bangsal Ponconiti di Kemandungan Utara (Keben), menuju halaman Masjid Agung Kauman Yogyakarta. Saat itu Sri Sultan atau kerabatnya menyebar "udhik-udhik" berupa uang logam dan bunga yang di bangsal Ponconiti. Di masjid Agung Kyai Nogowilogo diletakkan di Pagongan Selatan, dan Kyai Guntur Madu di Pagongan Utara.
Ketika daun sirih dikunyah bersamaan saat mendengarkan irama gamelan yang dibunyikan, berarti tradisi Islam dapat diterima oleh masyarakat Jawa. Tidak ketinggalan telur rebus merah kulitnya karena saat merebus airnya diberi pewarna makanan merah, yang ditusuk seperti sate diatasnya  dihiasi kertas warna-warni.
Tanggal 11 Maulud malam seperangkat gamelan itu dikembalikan di Bangsal Sri Manganti, yang dikawal abdi dalem Keraton. Paginya hajadan "dalem" Sri Sultan berupa  gunungan berjumlah 5 (lima) yang berisi hasil bumi, sayuran, buah-buahan dan makanan tradisional, dibawa dari Keraton ke halaman Masjid Agung, untuk dibagikan pengunjung.Â
Biasanya belum sempat dibagikan sudah diperebutkan oleh masyarakat yang berkerumun dan menungguinya. Istilah grebeg dari "gembrebeg" (bhs. Jawa), yaitu suara keras ketika Sultan keluar dari Keraton untuk memberikan "gunungan" kepada masyarakatnya. Prosesi ini sekaligus sebagai pertanda bahwa acara Sekaten yang merupakan kehamonisan agama dan budaya secara resmi sudah berakhir alias dituntup.
Mereka lebih suka di tempat yang tidak terlalu ramai, apalagi dengan suara yang memekakkan telinga. Keluarga milenialpun bila menyempatkan berkunjung ke PMPS saat  masih sore, untuk menghindari suasana yang berdesakan, tidak aman dan tidak nyaman, apalagi membawa anak kecil.
Akibatnya acara yang sebenarnya penuh makna nilai-nilai budaya dan religius semakin kurang diminati oleh generasi milenial. Tempat parkir yang jauh dengan lokasi PMPS tanpa ada fasilitas angkutan umum yang tidak berbayar, semakin para pengunjung mengurungkan niatnya untuk menyaksikan atraksi pentas budaya dan mendengarkan tausiah dari para pendakwah. Ke depan penyelenggaraan PMPS perlu ada terobosan dan inovasi hiburan yang tidak monoton, disesuaikan dengan trend hiburan untuk generasi dan keluarga milenial.Â