Mohon tunggu...
Sri Rumani
Sri Rumani Mohon Tunggu... Pustakawan - Pustakawan

Rakyat kecil, bukan siapa-siapa dan tidak memiliki apa-apa kecuali Alloh SWT yang sedang berjalan dalam "kesenyapan" untuk mendapatkan pengakuan "profesinya". Sayang ketika mendekati tujuan dihadang dan diusir secara terorganisir, terstruktur, dan konstitusional... Email:srirumani@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengapa Pasar Malam Perayaan Sekaten (PMPS), Kurang Diminati Generasi Milenial?

16 November 2018   19:22 Diperbarui: 16 November 2018   21:37 486
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di Alun-alun Yogyakarta, saat ini sedang berlangsung PMPS, sebagai rangkaian acara peringatan Hari Lahir Nabi Muhammad SAW. Walapun waktunya hanya 18 hari namun animo masyarakat untuk menyewa lahan meningkat dari 486 (2017) menjadi 514 kaveling (2018). Artinya PMPS ini juga menjadi ajang untuk promosi produk industri yang dibuat oleh pelaku usaha agar dikenal masyarakat. 

Selain itu acara ini juga sebagai pentas budaya dari group kesenian yang ada di Yogyakarta dan sekitarnya seperti karawitan, sanggar seni, dan ketoprak. Arena hiburan yang murah meriah kehadirannya selalu dinantikan oleh masyarakat. Bagi wisatawan nusantara dan asinga, PMPS sebagai tempat tujuan wisata yang budaya dan rerigi.  

Menyimak istilah Sekaten berasal dari bahasa Arab Syahadatain atau dua kalimat syahadat. Ada pendapat lain sekaten dari kata "sekati", yaitu seperangkat "gangsa" (gamelan), berasal dari Majapahit, yang dibunyikan selama pelaksanaan Sekaten. Jadi Sekaten ini pada awalnya sebagai media dakwah para wali songo diantaranya Sunan Kalijaga, Sunan Giri untuk menyebarkan agama Islam di tanah Jawa melalui kebudayaan. 

Ada prosesi "miyos" (bhs. Jawa) artinya keluar gamelan keraton bernama Kyai Guntur Madu dan Kyai Nagawilaga, dari bangsal Sri Manganti, ke bangsal Ponconiti di Kemandungan Utara (Keben), menuju halaman Masjid Agung Kauman Yogyakarta. Saat itu Sri Sultan atau kerabatnya menyebar "udhik-udhik" berupa uang logam dan bunga yang di bangsal Ponconiti. Di masjid Agung Kyai Nogowilogo diletakkan di Pagongan Selatan, dan Kyai Guntur Madu di Pagongan Utara.

jogjaprov-go-id-5beed50512ae946d84346c32.jpg
jogjaprov-go-id-5beed50512ae946d84346c32.jpg
Selama satu minggu gamelan itu ditabuh, dan masyarakat sambil menikmati alunan yang merdu mendayu, sambil makan nasik uduk dengan lauk ingkung ayam, kacang tanah goreng, kedelai hitam, sambel kering tempe, sambal goreng krecek, mentimun dan kemangi. Selain itu ada yag jual daun sirih lengkap dengan kapur sirih dan gambir untuk kinang (bagi yang suka, karena rasanya aneh). 

Ketika daun sirih dikunyah bersamaan saat mendengarkan irama gamelan yang dibunyikan, berarti tradisi Islam dapat diterima oleh masyarakat Jawa. Tidak ketinggalan telur rebus merah kulitnya karena saat merebus airnya diberi pewarna makanan merah, yang ditusuk seperti sate diatasnya  dihiasi kertas warna-warni.

Tanggal 11 Maulud malam seperangkat gamelan itu dikembalikan di Bangsal Sri Manganti, yang dikawal abdi dalem Keraton. Paginya hajadan "dalem" Sri Sultan berupa  gunungan berjumlah 5 (lima) yang berisi hasil bumi, sayuran, buah-buahan dan makanan tradisional, dibawa dari Keraton ke halaman Masjid Agung, untuk dibagikan pengunjung. 

Biasanya belum sempat dibagikan sudah diperebutkan oleh masyarakat yang berkerumun dan menungguinya. Istilah grebeg dari "gembrebeg" (bhs. Jawa), yaitu suara keras ketika Sultan keluar dari Keraton untuk memberikan "gunungan" kepada masyarakatnya. Prosesi ini sekaligus sebagai pertanda bahwa acara Sekaten yang merupakan kehamonisan agama dan budaya secara resmi sudah berakhir alias dituntup.

jogja-com-5beed5a56ddcae73b90f6732.jpg
jogja-com-5beed5a56ddcae73b90f6732.jpg
Sekarang masalahnya bagaimana generasi milenial mensikapi acara PMPS ?. Apakah masih meluangkan waktu berkunjung ke Alun-alun utara Yogyakarta, ataukah lebih suka ke cafe-cafe yang menyediakan fasilitas lebih banyak (wifi, suasana nyaman dan aman, makanan dan minuman dengan rasa dan harga standar). 

Mereka lebih suka di tempat yang tidak terlalu ramai, apalagi dengan suara yang memekakkan telinga. Keluarga milenialpun bila menyempatkan berkunjung ke PMPS saat  masih sore, untuk menghindari suasana yang berdesakan, tidak aman dan tidak nyaman, apalagi membawa anak kecil.

Akibatnya acara yang sebenarnya penuh makna nilai-nilai budaya dan religius semakin kurang diminati oleh generasi milenial. Tempat parkir yang jauh dengan lokasi PMPS tanpa ada fasilitas angkutan umum yang tidak berbayar, semakin para pengunjung mengurungkan niatnya untuk menyaksikan atraksi pentas budaya dan mendengarkan tausiah dari para pendakwah. Ke depan penyelenggaraan PMPS perlu ada terobosan dan inovasi hiburan yang tidak monoton, disesuaikan dengan trend hiburan untuk generasi dan keluarga milenial. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun