Tidak perlu ada larangan secara lisan pun yakin para pustakawan sangat memahami, dengan situasi politik di Indonesia yang semakin menghangat. Jangan sampai terjadi gesekan yang disebabkan masalah sederhana yang dibawa  ke ranah politik, sehingga semuanya dapat dipolitisir untuk politik adu domba (devide et impera).
Kalau mudah diprovokasi  oleh para provokator, yang senang melihat rakyat tertimpa kesusahan, sedih, dan tidak senang melihat rakyat dalam kondisi aman, damai,s sehat, bahagia, menyambut pesta demokrasi.
Selain itu suara pustakawan yang berjumlah 3.509 orang sangat kecil dibandingkan jumlah pemilih keseluruhan 196,5 juta orang, dengan rincian 98.657.761 orang berjenis kelamin laki-laki, dan 97.887.875 orang perempuan. Daerah dengan pemilih terbanyak Jawa Barat, dengan 33.138.630 pemilih, disusul Jawa Timur 31.312.285 pemilih, Jawa tengah 27.555.487 pemilih, Sumatera Utara 10.763.893 pemilih, dan DKI Jakarta 7.925.279 pemilih (sindonews).
Profesi pustakawan kalau dibandingkan dengan jumlah pemilih keseluruhan, sangat jauh berbeda (0,0017 %), sangat kecil dan kurang signifikan. Namun dari yang kecil ini dapat merubah dunia literasi asal kreatif dan mempunyai banyak terobosan.Â
Kondisi inilah yang dikhawatirkan oleh seorang pejabat untuk sementara kalau selfie dengan gaya bebas tidak perlu mengangkat tangan dengan yang membentuk huruf L, karena mempunyai makna yang berbeda, walaupun sebenarnya itu berarti sebagai salam literasi.
Semoga para pustakawan dapat menahan diri untuk tidak memberi salam literasi selama masa kampanye, supaya tidak "di justifikasi" sebagai salah satu pendukung kontenstan, padahal sejatinya netral walau mempunyai pilihan. Biarlah nanti yang menyaksikan hanya paku, bantalan, dan gambar kontestan yang di coblos.
Yogyakarta, 16 Oktober 2018 Pukul 13.07