Mohon tunggu...
Sri Rumani
Sri Rumani Mohon Tunggu... Pustakawan - Pustakawan

Rakyat kecil, bukan siapa-siapa dan tidak memiliki apa-apa kecuali Alloh SWT yang sedang berjalan dalam "kesenyapan" untuk mendapatkan pengakuan "profesinya". Sayang ketika mendekati tujuan dihadang dan diusir secara terorganisir, terstruktur, dan konstitusional... Email:srirumani@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Budaya "Nyumbang", di Masyarakat Yogyakarta

12 Juli 2018   15:24 Diperbarui: 16 Juli 2018   07:42 741
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam kehidupan, manusia sebagai makhluk sosial saling membutuhkan, memberi, menerima adalah hal wajar. Menjadi tidak wajar, a sosial bila tidak berbaur dengan lingkungnnya. Hidup dalam masyarakat dituntut untuk mempunyai kecerdasan sosial, artinya dapat melakukan kegiatan yang memberi manfaat, menyesuaikan lingkungan, bergotong royong, saling membantu, meringankan beban bagi yang sedang kerepotan baik dalam suasana suka terlebih dalam keadaan berduka. Bentuk bantuan itu biasanya dengan memberi sumbangan berupa tenaga, harta,  pemikiran. Ringan tangan yang dilakukan tanpa pamrih, tulus ikhlas, tanpa mengharap balasan, rasanya senang sekali dan hidup ini terasa indah, nikmat, senang, dan bahagia.

Masyarakat Yogyakarta mempunyai "anggapan", untuk melaksanakan hajatan dipilih bulan-bulan yang baik, padahal sejatinya semua bulan itu baik. Namun bulan Syawal, Dzulqoidah, Dzulhijah, Sapar, Robi'ul awwal, Robi'ul akhir, Jumadi awwal, Jumadi akhir, Rajab adalah bulan yang "dianggap" baik untuk hajatan. Sedang bulan Ruwah, Ramadan, Asyura bulan-bulan yang sering dihindari untuk mengadakan hajatan. Pada saat bulan baik inilah orang secara hampir bersamaan melaksanakan hajatan baik untuk pernikahan, sunatan (bersamaan hari libur), dan acara syukuran lainnya. Bulan syawal ini juga bertepatan dengan acara "pamit haji" yang kalau di desa seperti pernikahan dengan undangan, bedanya tidak mendapatkan "sumbangan".

Acara hajatan seperti pernikahan, sunatan, tujuh bulanan, lahiran, tamu-tamu yang datang dengan "nyumbang" yang wujudnya dapat berupa uang atau barang kebutuhan pokok (sembako), kado barang dan pecah belah. Namun seiring dengan perkembangan dan kepraktisan, memberi sumbangan berupa kado semakin berkurang dan di ganti dengan uang yang lebih simpel, luwes, bisa dipakai untuk membeli barang sesuai kebutuhan.

Acara hajatan di desa dengan di kota juga berbeda, kalau di desa banyak orang yang membantu segala kerepotan orang yang punya hajat Artinya sudah menyumbang tenaga ("rewang"/Jawa), barang dan/atau uang, tergantung dengan hubungan kedekatan persaudaraan/tetangga, sehingga tidak enak kalau depan rumah sedang hajatan tidak datang "rewang", minimal "unjuk muka/setor muka", walau pun hanya sedekar membantu pekerjaan yang ringan-ringan.

Berbaurnya seseorang dengan lingkungan sekitar, akan menjadi "track record", seseorang dalam masyarakat, minimal mendapat cap mempunyai jiwa sosial ("entengan"/Jawa), yang tidak membedakan status sosial, kelompok, agama, pendidikan, suku, asal usul. Semuanya berbaur dalam acara hajatan tetangga, dan bergotong royong untuk meringankan beban berat, kalau dipikul bersama terasa ringan. Kondisi ini saling bergantian, saat ini membantu, suatu ketika mempunyai hajat  akan mendapat bantuan tetangga.

Namun seseorang yang tidak pernah bergaul dan berbaur, maka dikucilkan oleh lingkungannya, sungguh sangat tidak enak mempunyai tetangga seperti hidup sendirian. Walaupun mempunyai saudara banyak tetapi tempatnya berjauhan, sehingga tidak dapat diandalkan, tetangga dapat menjadi saudara yang paling dekat.   

Berbeda dengan dengan masyarakat perkotaan yang karena lahan rumahnya terbatas, kalau mempunyai hajatan harus menyewa gedung, dan segala peralatannya, sehingga menambah anggaran. Akibatnya dalam undangan pernikahan sering ada tulisan "dengan tidak mengurangi rasa hormat, tiak menerima tamu di rumah". Artinya kalau sudah ada tulisan ini jangan pernah untuk datang ke rumahnya, karena semua sudah di sediakan di gedung sesuai dengan hari, tanggal, jam yang telah ditentukan. Apabila terlambat datang, tidak boleh protes bila sudah tidak ada hidangan karena model "prasmanan" siapa yang dapat lebih awal masih dapat menikmati hidangan yang lengkap.

Model prasmanan dengan gubuk-gubuk yang disediakan itu, biasanya para tamu mencoba semua yang dihidangkan, karena rasa penasaran. Kadang memang sayang, kalau mengambil karena untuk coba-coba ternyata tidak sesuai dengan lidah, sehingga harus menyisakan makanan. Padahal kalau makan itu etikanya ambil  harus dihabiskan, serta berhenti ketika sudah merasa kenyang. Selain itu dalam prasmanan, makan sambil berdiri, jalan-jalan, ngobrol dengan teman, ini sebaiknya dihindari, karena etika makan itu harus duduk, tidak boleh sambil bicara soalnya bisa tersedak.

Kembali ke masalah budaya nyumbang, dalam acara hajatan  itu sebagai representasi orang yang mempunyai hajat, dengan tamu-tamu yang diundang menunjukkan hubungan/relasi yang telah dibangun oleh yang punya hajat. Namanya juga syukuran pernikahan, jadi jangan berharap banyak dari sumbangan itu dapat menutup semua biaya yang telah dikeluarkan untuk hajatan. Apalagi di gedung pertemuan semuanya ada nilai rupiah yang harus dikeluarkan. 

Disamping itu dari sisi yang mendapat undangan, bahwa hari itu bisa jadi harus menghadiri undangan hajatan lebih dari 2-3 kali dalam waktu bersamaan. Artinya anggaran "nyumbang" ini ternyata juga dapat mengganggu anggaran pendapatan dan belanja rumah tangga. Namun lagi-lagi demi untuk hidup bermasyarakat maka itulah yang harus dilakukan.

Yogyakarta, 12 Juli 2018 Pukul 15.23

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun