Mohon tunggu...
Sri Patmi
Sri Patmi Mohon Tunggu... Penulis - Bagian Dari Sebuah Kehidupan
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Menulis adalah Bagian dari Self Therapy www.sripatmi.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Artikel Sri Patmi: Belajar Membumikan Syukur dari Alam Bromo Tengger Semeru

27 Desember 2020   01:20 Diperbarui: 27 Desember 2020   01:27 465
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sembari menanti harapan itu bertumbuh bersama dengan rintik hujan, aku menghampiri pedagang itu. Perbincangan transaksional saja sebenarnya, belum begitu mendalam. Setelah kutahu mereka menjual harga bunga tersebut 20.000 rupiah. Itupun terdiri dari beberapa tangkai yang diikat menjadi model buket yang indah. Selayang pandang kita akan dibuat mengaguminya sebagai wujud estetika semesta yang berwujud nyata dan abadi. Tetapi, jika ditarik kedalam diri sendiri, hakikatnya setiap makhluk ini suci, antara satu dengan yang lain saling menciptakan harmoni. Bila bunga itu tak laku, apa yang akan diperbuat? Bagaimana jika bunga itu layu? Makin langka saja peradabannya di muka bumi ini. Meskipun aku tahu, bunga endemik abadi ini sudah dibudidayakan di lereng Gunung Bromo. Tetapi harmoni diciptakan dari bunga ini adalah harmonisasi dan keselarasan flora, fauna dan kearifan lokal Suku Tengger. Edelweiss adalah salah satu flora yang berhamonisasi dengan kawasan Bromo. Jika ditanya, saya sendiri tidak setuju dengan hal ini. Mereka hidup memiliki habitat masing-masing. Bahkan kehadiran setiap makhluk akan membentuk sebuah ekosistem dan siklus yang berantai. Maka sudah selayaknya segala sesuatu dari alam biarlah diproses oleh alam. Aku bisa saja mati mendadak diserang kondisi ambivalensia. Membenci dan mencinta sesuatu dalam waktu yang sama. Ironis sekali, Edelweiss bukan hanya media ritual bagi masyarakat Tengger Semeru, tetapi pada akhirnya mereka harus mengais rejeki dari setiap tangkainya untuk segera layu dan hilang dari pandangan mata. Mengharapkan ia akan hidup di pekarangan rumah masing-masing atau sekedar ajang swafoto lalu dibuang. Miris...

Sampai pagi ini, sang fajar masih belum juga nampak. Tapi tenanglah, aku harapanku masih bertumbuh padamu. Kau mau apalagi dariku? Aku turuti semuanya... Ucapku merayu pada kehidupan dan dirimu, sang fajar.

Para wisatawan sudah mulai gelisah, pontang panting, kesana kemari. Bahkan ada yang turun lagi sambil mengeluarkan hujatan dan cacian kepada alam. Memarahi hujan, mendung, awan dan matahari itu sendiri. Ada juga wisatawan asing yang mengeluarkan sumpah serapah kepada bumi. Waduh... ngeri sekali, tak takut mati mereka ini jika harus ditelan oleh bumi. Tapi aku masih salut dan menghargai para bule ((bukan bhu'lek : ibu cilik (adik perempuan orang tua)), dari negeri sebarang sana, mereka ingin menikmati alamku yang damai ini. Segala harmoni perbedaan tumpah ruah menjadi satu dan hidup damai. Coba itu... ngapain kita harus pergi jauh ke luar kalo di Indonesia saja ada surga yang bersembunyi dibalik surga.

Sang fajar yang tak kunjung menyibak awan-awan ini masih belum terlihat juga. Beberapa orang berpindah ke tempat lain, sayup terdengar sembari berpapasan sambil berjalan aku mendengar percakapan mereka untuk berpindah ke Penanjakan 2. Sebenarnya aku sedikit penasaran, apa sih bedanya Penanjakan 1 dan 2 ini? Sembari melihat bapak penjual bunga Edelweiss itu merapikan sarungnya, aku menghampiri dan menemaninya saat duduk termenung. Obrolan demi obrolan terlontar seperti sudah sangat akrab. Intinya faktor ekonomi yang mengharuskan mereka membabat tangkai bunga abadi itu. Tetapi sudah ada upaya lain agar tanaman ini tidak layu yaitu Taman Edukasi Edelweis di BSM Penanjakan, Bromo itu diresmikan oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya. Edelweis yang bernama latin Anaphalis javanica itu disebut sebagai bunga abadi perlambang cinta. Tanaman itu tumbuh merata di kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru yang luasnya 50.276 hektare (ha). Untuk pemulihan ekosistem, sudah 1.000 ha lahan di taman nasional kembali ditanami bunga Edelweis dan akan terus diperluas. Sepanjang Januari-Maret 2016 ini telah ditanam lagi di 100 ha lahan yang tersebar di beberapa titik. Sebuah kelompok tani Bunga Edelweiss Wonokitri yang berjumlah 30 orang mencoba untuk membudidayakan bunga tersebut. Syukurlah... adat dan budaya menjadi penjembatan antara alam dan sikap dasar yang dimiliki manusia.

Chit Chat masih berlanjut dengan rasa penasaranku terhadap Penanjakan 1 dan 2. Mengapa sampai ada serialnya? Penanjakan 1 masih menjadi destinasi utama bagi para turis. Selain fasilitas umumnya yang lengkap, letaknya berada di Wonokitri, Pasuruan dengan ketinggian lebih dari 2.770 mdpl. Meski treknya terjal, ekstrim dan tikungannya tajam, kebanyakan orang memilih untuk tetap menjadikan Penanjakan 1 menjadi opsi pertama. Penanjakan 2 atau sering disebut Seruni Point Gunung Bromo adalah puncak tertinggi kedua di Kawasan Nasional Tengger Surabaya. Jaraknya sekitar 800 meter dari Penanjakan 1 dengan estimasi waktu tempuh 18 menit. Ketinggian Seruni Point ini adalah 2400 mdpl.

Sebenarnya ada beberapa spot lain untuk menantinya sang fajar yang lebih kondusif, nyaman dan tenang. Bukit Mentigen adalah salah satu tempat alternatif untuk melihat Bromo Sunrise yang berlokasi didekat Hotel Lava View, tepatnya di Desa Ngadisari Kecamatan Sukapura Kabupaten Probolinggo. Jaraknya lumayan jauh dari Gunung Penanjakan 1 ini, estimasi bisa sampai 3 jam lebih. Dari puncak Mentigen ini anda bisa melihat sisi lain dari pada keindahan Wisata Bromo, diantaranya Gunung Batok, Gunung Kursi, Pure Luhur Poten, Hamparan lautan pasir dan pemandangan Desa Ngadisari dari ketinggian 2.273 mdpl.

Spot lain yang bisa menjadi opsi adalah Bukit Cinta. Letak bukit cinta tidaklah jauh dari Penanjakan 1 Gunung Bromo, bahkan masih satu jalur dengan jalan menuju ke penanjakan 1 Gunung. Jaraknya sekitar 1,8 Km. Selain dijadikan tempat menyaksiakan sunrise Tour, Bukit Cinta Gunung Bromo merupakan tempat untuk melihat keindahan bintang galaxy atau Bromo Milky Way, bahkan disinilah tempat terbaik untuk milky way photography dibandingkan dengan tempat tempat wisata sekitar Gunung Bromo lainnya. Jalur dari Pasuruan lewat Tosari dan Purwodadi, jalur dari Malang lewat Tumpang, dan jalur dari Probolinggo lewat Cemoro Lawang. Banyak banget pintu masuknya menuju surga dunia.

Hingga sepenggalah waktu terbitnya fajar, ia masih belum bersinar. Setelah berembuk dengan rasa gelisah dan dingin yang membiru di bibir teman-temanku, akhirnya kami memutuskan untuk turun menuju Kaki Gunung Bromo. Kebetulan kami kemari memang sedang tidak ada ritual upacara Kasodo, karena belum waktunya. Hanya menempatkan waktu keberangkatan sesuai dengan tanggal merah yang dempet dan panjang. Hamparan pasir yang luas masih menjadi hiasan obat mata menanti sang surya. Dibawah tenda terpal berwarna biru, kami mengisi dan membungkam cacing perut yang sudah meneriaki dengan bunyi-bunyian seperti gendang ditabuh. Hangatnya kuah rawon yang mengepul dihidangkan dalam sepiring nasi dan semangkok rawon tanpa nambah lagi ya, karena memang porsinya sudah banyak sekali. Mereka asik mengobrol dengan bahasa Jawa Ngoko. Sesekali aku mengartikan makna dari kata yang mereka ucapkan karena mereka kurang begitu paham. Teman-temanku berasal dari negeri seberang seperti Palembang dan Manado. Anehnya, saat membayar tariff harga semangkok rawon itu berbeda-beda. Saat aku membayarnya, harganya jauh lebih murah dibanding yang lain. Disaat bertemu dengan seorang ibu paruh baya penjual rawon ini, aku hanya sedikit dialog dengan bahasa Jawa Ngoko. Maklum, mau membahasakan lebih halus dengan kromo dan inggil masih tidak fasih. Sesekali aku meminta maaf karena tidak bisa mengimbangi dengan bahasa kromo karena keterbatasan kosakata.

Jalinan Kuat Bromo dan Kasodo ...

Sudah jadi kebiasaan lama, perut lapar gelisah, sudah kenyang malah ngantuk. Penyakit bawaan dari orok. Teman-temanku malah sudah mager (males gerak) untuk mendekati kepada Gunung Bromo. Padahal sudah terlihat didepan mata. Mereka masih begah membayangkan harus berjalan menguras kalori melintasi anak tangga 200 hingga 250 buah dengan lebar 2 meter. Jadi sudah pasti hanya bisa dilewati dua orang dari dua arah yaitu naik dan turun. Beberapa masyarakat suku Tengger sudah merasakan kegelisahan teman-temanku. Seorang bapak paruh baya membawa sebungkus rokok kretek mendekat kearah kami. Mengobrol dan pada akhirnya menawarkan jasa naik kuda melintasi anak tangga seharga 150 ribu rupiah pulang pergi. Dasarnya sudah menjadi penyakit menular, mereka masih asik saja menikmati kepulan demi kepulan itu terbang. Secara fisik, tak ada masalah jika harus berjalan kesana, masalahnya adalah mereka takkan membiarkanku sendirian mendekati kaldera Bromo. Hingga akhirnya, aku paksakan dan perintahkan salah satu dari mereka untuk menemani dan mengawal. Meski harus bersungut-sungut, dan masih harus menanti tangga demi tangga kakinya terhenti.

Wisatawan yang ingin melihat keindahan kaldera Gunung Bromo tidak akan dipungut biaya tambahan, kecuali biaya parkir kendaraan. Sehingga mereka hanya perlu membayar tiket di loket masuk sebelumnya, dengan harga 27.500 rupiah di hari kerja dan 32.500 di hari libur untuk wisatawan lokal, sementara untuk wisatawan asing mereka akan dikenakan biaya tiket masuk sebesar 217.500 rupiah di hari kerja dan 317.500 rupiah di hari libur. Harga yang tidak terlalu mahal, dibandingkan dengan panorama yang dijanjikan oleh Gunung Bromo. Sampai pada bibir kaldera Bromo, aku dibuat takjub oleh keagungan segala Kuasa-Nya. Kaldera yang membara ini masih menjadi simbol kegagahan alam kala itu. Keganasan dan kemurkaan terhadap sikap manusia yang tak tahu diri terhadap dunia. Melalap dan memakan hak sesamanya, bahkan mengeruk habis-habisan perut bumi untuk dimasukkan dalam perut diri sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun