Sudah sekian waktu aku menanti dibatas senja, tempat dirimu memberi tanda. Seikat tali merah yang akan kita kenakan di tempat yang sama. Sejajar dengan bahu dan lutut kita selama ini. Daguku sudah bertemu dengan lutut. Artinya kita sudah harus saling berpegang erat dan mengikatkan tali disana sini. Takut jatuh. Kalo jatuh akan bertemu dengan darah yang sesungguhnya mengalir. Bukan warna merah tetapi sudah berwarna jingga. Sudah tercampur dengan ribuan kubik air berwarna warni. Sekarang sudah menghitam legam. Daguku sudah lecet, berapa tanjakan curam lagi harus meniadakan tulang lututku. Aku mau turun saja. Sudah tidak kuat. Padahal aku sudah biasa menanjak dengan kaki sendiri. Kau saja sendiri, aku takut jika perseteruan kita diketahui banyak orang.Â
Sssssstttt.... jangan berisik! Berbisik saja...Â
Seutas talinya sudah putus. Kakiku menggantung tersangkut disini. Dekat dengan jantung. Tempat selama ini kita bertemu. Jauhkan sedikit dari pandanganku biar aku melihat rambut panjangmu membentuk gimbal. Sudah sejak lama kau menanti itu. Kepala kita sama-sama menggantung kebawah. Kaki diatas, kepala dibawah. Kanan dan kiri kaki kita, masih bisa menikmati tanah meski nyawa sudah diujung tanduk. Angin ini sudah menerbangkan rambut panjangmu. Dibelakang bagian kepala dekat dengan tengkuk, sudah membentuk kepangan kecil seperti berantakan. Sudah kuasingkan diri dengan takutnya ketinggian. Kita ini seperti sudah gila ya? Disaat nyawa sudah hampir dekat dengan tenggorokan masih bisa tertawa-tawa. Kau manusia yang tak takut mati memangnya?Â
Salam,Â